PSIKOLOGI DALAM HUKUM PIDANA DAN PENGAWASAN PERILAKU
1.
Yang Mendasar Tentang Hukum Pidana dan Problemanya
Menurut
pendapat Prof. Sudarto dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Hukum Pidana”,
menegaskan bahwa yang membedakan hukum pidana dari bidang hukum lain adalah
sanksi yang berupa pidana yang diancam kepada pelanggaran normanya. Sanksi
dalam hukum pidana ini adalah sanksi yang negatif. Di samping itu mengingat
dari sifat pidana yang hendaknya baru diterapkan apabila sarana (upaya lain
sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang
subsidiair). Prof. Sudarto selanjutnya mengutip suatu konstansi tentang
keunikan dan keekstriman dari pernyataan Leo Polak dalam bukunya, De zin der
vergelding (makna dari pembalasan) yang berisi Hukum pidana adalah bagian
dari hukum yang paling celaka, sebab ia sampai sekarang tidak tahu mengapa ia
hukum, dan dengan dan dengan sia-sia membuktikan bahwa ia itu hukum. Problema-problema
dasar dari hukum pidana ialah makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan
pidana yang patut diterima (oleh seorang yang dianggap melanggar norma pidana),
tetap merupakan problema yang tidak terpecahkan.
Permasalahan
(Problema) mendasar dalam hukum pidana sebagai berikut:
a)
Pidana
termasuk juga tindakan (Maatregel, Masznahme), suatu penderitaan yang dirasakan
terhadap orang lain, tidak hanya dirasakan pada saat menjalani hukuman, namun
juga dirasakan seseorang setelah ia menjalani hukuman yaitu berupa “cap
(Stigma/Label)” dari masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat, ini merupakan
beban psikologis bagi pelaku. Oleh karena itu orang terus mencari dasar,
hakekat dan tujuan dari pidana dan pemidanaan tersebut.
b)
Syarat-syarat
untuk memungkinkan pengenaan pidana.
Syarat-syarat
ini ditetapkan oleh undang-undang dan ilmu pengetahuan, sedangkan yang harus
memperhatikannya adalah hakim, jaksa dan lain-lainnya.
Mengenai
syarat-syarat ini dalam hukum pidana terdapat asas-asas yang penting yaitu asas
legalitas dan asas culpalitas. Asas yang pertama menyangkut perbuatan dan asas
yang kedua menyangkut orangnya. Dari sifat hukum pidana, makna permasalahan
yang mendasar dan harapan agar hukum pidana dapat berperan sesuai tujuan
terutama dalam pelaksanaan, pembangunan, modernisasi butuh sarana ilmiah dan
ilmu-ilmu merupakan posisi terpenting bagi hukum pidana modern. Ilmu-ilmu
pengetahuan tersebut diantaranya sosiologi, ilmu politik, antropologi, dll
termasuk yang menonjol adalah psikologi.
2.
Peranan Psikologi dalam Hukum Pidana
Dalam menghadapai tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, atau
sengaja membakar rumah dan lain-lain, sistem hukum dapat berkisar dari satu
ekstrim untuk menghukum tanpa menghiraukan faktor-faktor subyektif dalam diri
pelakunya. Hal ini merupakan masalah nilai keseimbangan antara kepentingan bagi
keselamatan dan kekuatan dari masyarakat, dan pertimbangan terhadap individu
sebagai manusia. Tidak ada bidang dimana konflik dari nilai-nilai tadi lebih
dramatis, bahkan sering tragis mendapat pengujian merawat penyakit gila atau
mental yang kurang waras. Orang yang menderita gangguan jiwa tidak dikenakan
sanksi pidana, hal tersebut merupakan beban bagi masyarakat. Sama halnya
seperti orang Spartan membunuh secara terang-terangan anak-anak yang lemah agar
jangan sampai melemahkan kekuatan berperang negaranya. Belakangan ini ditemukan
saran bahwa pembunuh tidak waras harus dijatuhi hukuman juga atau jika tidak
dihukum mati, dimusnahkan tanpa rasa sakit demi hygiene masyarakat. Doktrin
serupa itu telah dijunjung tinggi oleh Jerman Nasionalis (NAZI), di mana
permusuhan dipraktekan, pengurungan atau sterilisasi bagi seluruh kelompok
masyarakat yang dianggap rendah, tidak disenangi atau tidak berguna, secara
besar-besaran. Telah menjadi kenyataan tradisi dari bangsa-bangsa yang beradab,
hukum pidana untuk memperhatikan kelemahan dari individu sebagai pembelaan
terhadap tuntutan pidana, atau sedikitnya sebagai peringanan hukuman. Walaupun
beberapa sistem hukum modern telah melangkah jauh ke depan untuk menggantikan
secara alternative sanksi social bagi hukuman dalam menghadapi orang-orang gila
atau kurang waras dan kaum remaja. Untuk kasus-kasus di mana diajukan pembelaan
bagi merekan yang berpenyakit jiwa dapat kita lihat dalam perundang-undangan
berikut ini:
Juri harus diberitahu dalam setiap kasus, bahwa setiap orang
dianggap waras, dan memiliki kekuatan akal yang cukup untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukan, hingga dapat
dibuktikan kebalikannya demi kepuasan dan bahwa untuk mengajukan pembelaan
berdasarkan keadaan tidak waras harus dibuktikan secara jelas bahwa pada saat
melakukan perbuatan pihak yang tertuduh
dalam keadaan tidak waras, hungga ia tidak mengetahui macam dan sifat yang a
lakukan atau jika ia mengetahuinya ia tidak menyadari bahwa ia sedang melakukan
perbuatan yang salah. Ujian semacam ini diadakan seluruh Negara persemakmuran
Inggris (British CommonWealth) dan hampir semua bagian Amerika Serikat.
Anggaran yang ditetapkan adalah barangsiapa yang secara apa yang
benar dan yang salah dari perbuatan tertentu harus dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan pidana yang dilakukan. Pendapat yang seperti tadi segera dapat
tangtangan terutama sekali dari profesi medis, namun juga dari ahli hukum yang
terkenal menekankan bahwa kegilaan itu tudak hanya atau terutama sekali
mempengaruhi kemampuan untuk menyadari dan menggunakan kecerdasan, akan tetapi
juga mempengaruhi keseluruan kepribadian juga meliputi keinginan dan emosinya.
Sekitar tahun 1870, sudah dihapuskkan di Negara bagian New Hampshire,
mengenai pengadaan test, apakah yang melakukan pidana memikirkan niat untuk
berbuat jahat. Dari segi perkembangan psikiatri modern, ilmu pengetahuan
kriminologi dan konsep tentang kesalahan yang mengalamami perubahan, kritik
tersebut telah menempati tempat proporsi yang luas sekali pada tahun-tahun
belakangan ini, baik di Inggris maupun di Amerika Serikat.
Dalam pandangan psikiatri dan hukum modern lebih menyukai untuk
dilakukan test yang lebih luas yang mengkorelasikan pertanggungjawaban pidana
dengan kemampuan seseorang untuk melakuakan tindak-tanduknya sesuai
syarat-syarat yang ditentukan hukum. Dengan demikian keputusan pengadilan
tinggi AS (United States Court of Appeal) untuk distrik Colombia yang dibahas
secara luas, telah berhasil merumuskan peratuaran “Bahwa seorang tertuduh
tidaklah bertanggung jawab lagi bagi perbuatan pidana apabila tindakannya yang
melawa hukum itu merupakan produk dari penyakit jiwa atau jiwa yang kurang
waras”.Laporan sebagian besar dari British Royal Commission (Komisi Kerajaan Inggris), menyarankan bahwa:
Juri haruslah merasa puas apabila pada waktu tertuduh melakukan
perbuatan, sebagai akibat dari jiwa yang sakit atau jiwa yang kurang sehat:
1)
Tidak
mengetahui wujud atau sifat dari perbuatan tersebut.
2)
Tidak
menyadari bahwa itu adalah perbuatan yang salah.
3)
Tidak
mampu untuk mengendalikan dirinya dari perbuatan tersebut.
Sebagian kecil
lebih menyukai untuk menghapuskan seluruh “M’Naghten Rules”, dan terserah pada
juri untuk menentukan apakah tertuduh sedang menderita penyakit jiwa atau jiwa
yang kurang waras. Sehingga ia tidak dapat dimintai tanggung jawab. Model Penal
Code (KUHP) yang disusun oleh Lembaga Hukum Amerika Serikat menyarankan
perumusan sebagai berikut:
1)
Seseorang
tidak bertanggungjawab bagi perbuatan pidana apabila dilakukan perbuatan
demikian sebagai dasar dari akibat sakit jiwa atau jiwa yang kurang waras, ia
kurang memiliki kemampuan yang semestinya baik untuk memahami sifat pidana dari
perbuatannya (salah, melanggar undang-undang) atau untuk menyesuaikan
perbuatannya dengan syarat-syarat yang ditetapkan hukum.
2)
Istilah
“penyakit jiwa” atau “jiwa yang kurang waras” yang digunakan dalam fasal ini
tidak menyakup kelainan (abnormalitas) yang ditunjukkan hanya dengan
pengulangan perbuatan pidana atau sebaliknya perbuatan anti sosial.
Perumusan
tersebut tidak hanya melengkapi apresiasi intelektual murni tentang apa yang benar
dan apa yang salah dari “M’Naghten Rules” melalui test untuk mengawasi
perbuatan sebagai pedoman bagi pertanggungjawaban pidana, akan tetapi juga dari
Psikiatri modern sehubungan dengan penyakit jiwa sebagai tambahan bagi penyakit
gila. Jiwa yang kurang waras biasanya mengandung arti suatu kemunduran (cacat)
akalnya atau cacat dalam pengertian yang terjadi semenjak lahir atau semenjak
usia muda. Abnormalisasi jiwa (mental) merupakan konsep yang lebih mendalam
lagi, namun sangat mementingkan dua kategori orang-orang abnormal yang bukan
gila maupun kurang waras akalnya, sakit ayan dan psikopat. Berbagai macam
gangguan psikopat yang hampir tak ada batasnya dan masih meluas ruang lingkup
bagi penyelidikan gangguan jiwa lebih merumitkan masalahnya. Peraturan
M’Naghten, tidak hanya meremehkan masalah pertanggungjawaban pidana melalui
pengujian atas yang benar dan salah, tetapi peraturan tadi tidak meninggalkan
jejak hitam diatas putih.
Di Amerika
Serikat masalahnya agak kurang jelas. Sebaliknya hukum di Skotlandia sepanjang
yang menyangkut masalah pembunuhan, dan sejumlah hukum yang kontinental sudah
semenjak lama menerika doktrin tentang pengurangan pertanggungjawaban dengan
memberikan kepada pengadilan-pengadilan untuk mengurangi hukuman. Mungkin perumusan
yang paling representatife adalah perumusan KUHP Switzerland yaitu:
1)
Badan
Administratif Distrik akan melaksanakan keputusan hakim yang memerintahkan
pemenjaraan, perawatan atau memindahkan ke rumah sakit para pelaku kejahatan
yang tidak bertanggungjawab atau sebagian dari perbuatan mereka.
2)
Pihak
yang berwenang akan memerintahkan penghentian penahanan, perawatan maupun
penahanan di rumah sakit segera setelah alasan untuk itu tidak terdapat lagi.
Hakim kemudian
memutus apabila dan hingga sejauh mana hukuman yang akan dijatuhkan pada para
pelaku yang hanya sebagian saja bertanggungjawab terhadap kejahatan yang
dilakukan.Jelaslah, perkembangan dalam psikiatri modern yang mengakui adanya
pengurangan yang normal dan abnormal hingga berbagai tingkat kekuatan emosi dan
kemampuan mengontrol diri ketajaman mental, memerlukan adanya elastisitas yang
sesuai dalam metoda pendekatan hukum bagi masalah pertanggungjawaban
pidana.Namun hal ini menimbulkan kesulitan untuk menemukan perumusan yang
tepat. Dari petunjuk-petunjuk yang diberikan kepada komisi kerajaan tadi,
sebagai persiapan untuk report, ikatan dokter Inggris mengajukan saran sebagai
berikut:
“Apabila juri berpendapat bahwa
seseorang yang dituduh pada saat melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan
sakit jiwa, akal yang mundur, atau gangguan emosi sehingga tidak dapat diminta
pertanggungjawaban, mereka harus mengambil keputusan bersalah dengan
pertanggungjawaban yang diringankan.”
Dari segi ilmu
kedokteran modern kedalam hukum, diakui terdapat kerumitan dalam diri manusia,
pengertian akan adanya gaya dan emosi yang berjuang dalam dada manusia serta
menghasilkan skala perbedaan yang hampir tak ada batasnya, yaitu dari keadaan
normal hingga yang tidak normal, sebaliknya menimbulkan masalah yang serius.
“Tout Comprende, Ce’st tout pardoner” (dari pepatah bahasa Prancis yang berarti
“memahami keseluruhan masalah berarti mengampuni seluruhnya”). Terkadang
masyarakat menuduh seseorang bersalah walaupun para ahli jiwa menganggap si
plaku mengalami gangguan jiwa dan para ahli filsuf mungkin akan menyangkal
yaitu “keinginan yang bebas” untuk memilih antara yang benar dan yang salah.
Alternatifnya
haruslah antara hukuman dan harus memasuki suatu lembaga untuk pengawasan orang
yang mentalnya terganggu. Dimana pelaksanaan hukuman dikesampingkan baik karena
hukuman mati yang dihapuskan atau tidak diterapkan atau karena tertuduh telah
terbukti bersalah namun gila. Para ahli kriminologi dan sosiologi beranggapan
bahwa hukuman bagi seorang pelaku kejahatan merupakan jalan keluar, baik dalam
masyarakat modern maupun masyarakat zaman dahulu. Kebutuhan masyarakat ini
dapat terancam oleh bahaya apabila konsep tentang gangguan mental atau penyakit
jiwa terlampau diperluas.
Dalam kasus Mr.
Dallas O’Williams (berasal dari New York) 19 April 1958 hal.85), yang diantara
tahun 1932 dan 1958 telah ditahan lebih dari seratus kali, dijatuhi hukuman
pidana berat sebelas kali, mulai dari penyerangan hingga pembunuhan.Putusan
pengadilan pidana menyatakan ia gila, namun ketika dimasukkan kedalam lembaga
penyakit jiwa, para dokter sulit menemukan bukti adanya gangguan mental maupun
penyakit jiwa, selain kecenderungan untk melakukan kejahatan dengan kekerasan. Akan
tetapi, apabila kecenderungan bagi kejahatan sampai diterima sebagai penyakit
jiwa sedemikian rupa hingga tanpa menambahkan unsur-unsur yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk menggunakan akal hingga tingkat minimum, atau dengan
pengendali bagi dilakukannya kejahatan, maka kesempatan terbuka tidak hanya
bagi prustasi yang lebih hebat dalam proses peradilan pidana, melainkan juga
sama sekali melenyapkan batas-batas hukum pidana.
v Ilustrasi “Penyelidikan Oleh
Beberapa Aliran”
1)
Aliran
yang berpangkal kepada penyelidikan menurut sejarah dari pada suatu keluarga.
Aliran ini
melihat pada penyelidikan keluarga Jokes, Jonathan Edward dan keluarga Kalikak.
Penyelidikan pada keluarga Jokes dilakukan pada tahun 1877 Penyelidikan R.
Dugdall diteliti kembali pada tahun 1915 oleh Estabrook. Hasil penyelidikan,
dari 1.200 anggota keluarga terdapat tujuh orang pembunuh, sepuluh orang
pencuri, lima puluh orang pencuri, dan seratus empat puluh orang tersangkut
perkara pidana ringan.Dalam penyelidikan ternyata anggota Jonathan E tergolong
penduduk yang berkelakuan baik-baik, padahal nenek moyangnya tergolong
penjahat, kaliber besar. Dari keluarga Jonathan E ini ada yang menjadi senat
AS, Presiden AS dan lain-lain orang terkemuka.
Penyelidikan pada
keluarga Kalikak menunjukan bahwa diantara anggota keluarga kalikak ada yang
tersangkut dalam perbuatan melanggar hukum da nada yang termasuk orang-orang
baik, penyelidikan lebih lanjut menunjukan bahwa anggota keluarga yang termasuk
jahat adalah hasil perkawinan kalikak dengan seorang pelacur sedangkan mereka
yang termasuk orang-orang baik adalah hasil perkawinannya dengan orang baik. Penyelidikan
ini dilakukan oleh Goddard.
Kesimpulan,
pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum dapat dipelajari
menurut silsilah keluarga menurut penyelidikan tidak berhasil, sebab dalam
kenyataannya tidak semua keluarga yang jahat melahirkan keturunan-keturunan
jahat.
2)
Aliran
yang berpangkal kepada penyelidikan otak terkebelakang.
Perbuatan melanggar hukum dihubungkan dengan keterbelakangan otak
seseorang. Dalam hal keterbelakangan otak seseorang dapat digolongkan sebagai
berikut:
Idiot: seseorang yang mempunyai daya berfikir tidak lebih dari anak uang
berumur tiga tahun.
Imbersiel: seseorang yang daya berfikirnya tidak lebih dari anak yang berumur
enam tahun.
Demiel: seseorang yang daya berfikirnya atau kemampuan berfikirnya tidak
lebih dari anak yang berumur dua belas tahun.
Untuk
mengetahui seseorang termasuk golongan apa dapat diadakan dengan suatu test Intelegence
Quotion. Caranya: usia mental x 100 usia bilogis
I.Q
yang normal adalah 90 keatas.
Dalam
hubungannya dengan perbuatan melanggar hukum dan yang mempunyai arti bagi
kriminologi adalah golongan idiot, sebab tingkah lakunya dialihkan pada
anak-anak berumur lima tahun, ada pula yang berpendapat bahwa golongan yang
demikianlah yang berbahaya. Namun, pendapat ini disangkal oleh Prof. Baan yang
menyimpulkan bahwa golongan demilitas pun tidak pernah dikemukakan sebagai
orang yang melakukan tindakan jahat.
3)
Aliran
yang berpangkal kepada penyelidikan anak kembar
a)
Anak
kembar yang berasal dari satu telur (Monosignotik)
Monosignotik dihasilkan
dari proses sperma laki-laki membuahi satu telur (wanita) dan dari pembuahan
itu telur membelah di bagian yang sama dan tiap pembelahan itu menumbuhkan
calon bayi satu sama lain secara wajar, (tiap-tiap bagian dari telur yang
membelah itu lahirlah manusia tersendiri, sehingga pada waktunya si ibu
melahirkan dua bayi yang kembar.
b)
Anak
kembar yang berasal dari dua telur (Disigotik)
Disigotik
dihasilkan pada waktu sperma laki-laki membuahi telur wanita, maka yang
dibuahinya itu dua telur secara bersamaan dan sekaligus, tiap-tiap yang
dibuahinya melakukan prosesnya masing-masing sehingga pada waktunya lahir dua
orang bayi.
Dengan sendirinya anak kembar yang berasal dari satu telur dan dua
telur berbeda (akan berbeda), oleh karena anak kembar yang berasal dari dua
telur sebenarnya merupakan adik dan kakak secara kebetulan saat lahirnya hampir
bersamaan, sedangkan monosignotik pada umumnya banyak memiliki sifat-sifat dan
jenis yang bersamaan.
Kesimpulan, anak kembar disigotik maka sifat-sifat dan tindakan
lebih banyak menunjukan discordant dari pada concordant, oleh karena mereka
hidup dalam dua lingkungan yang berbeda, sedangkan pada monosigotik menunjukan
lebih banyak concordant dari pada discordant, karena mereka hidup dalam
lingkungan yang sama.
Jika dihubungkan dengan kriminologi maka anak kembar monosigotik
keduanya jahat atau keduanya tidak jahat. Sedangkan pada anak disigotik, jika
yang satu melakukan pidana yang lainnya belum tentu sama tergantung
lingkungannya. Kritik dari Noach:
a)
Bahwa
jumlah yang diselidiki terlalu sedikit, sehingga tidak mencerminkan yang
representative.
b)
Dasar
dari yang disebut concordant dan discordant tidak begitu tepat, jika dilihat
dari segi perbuatannya sebab dengan demikian hukuman pidana dijatuhkan tidak
membedakan, misalnya pelacuran dan pencopetan.
4)
Aliran
yang berpangkal kepada penyakit jiwa
Seorang
psychiater bernama Kretschner, mengadakan pembagian dari penyakit jiwa untuk
menyelidiki dalam hubungan antara perbuatan melanggar hukum dan penyakit jiwa,
kemudian mendapat penyempurnaan dari Karl Jasper sebagai berikut;
a)
Epilepsi
b)
Psychopati
c)
Schizo
phraenia
d)
Psychose
manisch depresif.
5)
Aliran
yang mempelajari kelenjar “Endokrin”.
Para pendukung teori ini menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum
biasanya ditimbulkan oleh desfungsinya kelenjar endokrin.Prof. Nico Gunburg
berpendapat bahwa kelenjar endrokrin di bagian dalam badan (tubuh seseorang
yang bekerja keluar tubuh disebut endokrin). Adapun bekerjanya kelenjar endokrin
bisa melebihi fungsi yaitu bekerjanya melebihi apa yang dibutuhkan untuk
kelancaran organisasi tubuhnya, sehingga menimbulkan gejala-gejala yang tidak
normal kelenjar endokrin dapat bekerja kurang dari fungsinya yaitu bekerjanya
tidak dapat dilayani apa yang dibutuhkan untuk organisme tubuh dan dapat pula
menimbulkan gejala-gejala yang tidak normal. Oleh karena bekerjanya kelenjar
endokrin yang tidak normal itu, seseorang dapat melakukan tindakan-tindakan
yang tidak wajar dalam hal ini pelanggaran norma sama dengan perbuatan
melanggar hukum.
Jadi, menurut Nico Gunburg bahwa ketidak seimbangan bekerjanya
kelenjar endokrin dalam memenuhi pelayanannya terhadap organisme tubuh manusia
dapat menyebabkan seseorang berbuat perilaku melanggar hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar