Halaman

Sabtu, 29 Juni 2013

Psikologi dalam Hukum dan Pengawasan Perilaku

PSIKOLOGI DALAM HUKUM PIDANA DAN PENGAWASAN PERILAKU

1.    Yang Mendasar Tentang Hukum Pidana dan Problemanya
Menurut pendapat Prof. Sudarto dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan Hukum Pidana”, menegaskan bahwa yang membedakan hukum pidana dari bidang hukum lain adalah sanksi yang berupa pidana yang diancam kepada pelanggaran normanya. Sanksi dalam hukum pidana ini adalah sanksi yang negatif. Di samping itu mengingat dari sifat pidana yang hendaknya baru diterapkan apabila sarana (upaya lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidiair). Prof. Sudarto selanjutnya mengutip suatu konstansi tentang keunikan dan keekstriman dari pernyataan Leo Polak dalam bukunya, De zin der vergelding (makna dari pembalasan) yang berisi Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang paling celaka, sebab ia sampai sekarang tidak tahu mengapa ia hukum, dan dengan dan dengan sia-sia membuktikan bahwa ia itu hukum. Problema-problema dasar dari hukum pidana ialah makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima (oleh seorang yang dianggap melanggar norma pidana), tetap merupakan problema yang tidak terpecahkan.
Permasalahan (Problema) mendasar dalam hukum pidana sebagai berikut:
a)    Pidana termasuk juga tindakan (Maatregel, Masznahme), suatu penderitaan yang dirasakan terhadap orang lain, tidak hanya dirasakan pada saat menjalani hukuman, namun juga dirasakan seseorang setelah ia menjalani hukuman yaitu berupa “cap (Stigma/Label)” dari masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat, ini merupakan beban psikologis bagi pelaku. Oleh karena itu orang terus mencari dasar, hakekat dan tujuan dari pidana dan pemidanaan tersebut.
b)   Syarat-syarat untuk memungkinkan pengenaan pidana.
Syarat-syarat ini ditetapkan oleh undang-undang dan ilmu pengetahuan, sedangkan yang harus memperhatikannya adalah hakim, jaksa dan lain-lainnya.
Mengenai syarat-syarat ini dalam hukum pidana terdapat asas-asas yang penting yaitu asas legalitas dan asas culpalitas. Asas yang pertama menyangkut perbuatan dan asas yang kedua menyangkut orangnya. Dari sifat hukum pidana, makna permasalahan yang mendasar dan harapan agar hukum pidana dapat berperan sesuai tujuan terutama dalam pelaksanaan, pembangunan, modernisasi butuh sarana ilmiah dan ilmu-ilmu merupakan posisi terpenting bagi hukum pidana modern. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut diantaranya sosiologi, ilmu politik, antropologi, dll termasuk yang menonjol adalah psikologi.

2.    Peranan Psikologi dalam Hukum Pidana
Dalam menghadapai tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, atau sengaja membakar rumah dan lain-lain, sistem hukum dapat berkisar dari satu ekstrim untuk menghukum tanpa menghiraukan faktor-faktor subyektif dalam diri pelakunya. Hal ini merupakan masalah nilai keseimbangan antara kepentingan bagi keselamatan dan kekuatan dari masyarakat, dan pertimbangan terhadap individu sebagai manusia. Tidak ada bidang dimana konflik dari nilai-nilai tadi lebih dramatis, bahkan sering tragis mendapat pengujian merawat penyakit gila atau mental yang kurang waras. Orang yang menderita gangguan jiwa tidak dikenakan sanksi pidana, hal tersebut merupakan beban bagi masyarakat. Sama halnya seperti orang Spartan membunuh secara terang-terangan anak-anak yang lemah agar jangan sampai melemahkan kekuatan berperang negaranya. Belakangan ini ditemukan saran bahwa pembunuh tidak waras harus dijatuhi hukuman juga atau jika tidak dihukum mati, dimusnahkan tanpa rasa sakit demi hygiene masyarakat. Doktrin serupa itu telah dijunjung tinggi oleh Jerman Nasionalis (NAZI), di mana permusuhan dipraktekan, pengurungan atau sterilisasi bagi seluruh kelompok masyarakat yang dianggap rendah, tidak disenangi atau tidak berguna, secara besar-besaran. Telah menjadi kenyataan tradisi dari bangsa-bangsa yang beradab, hukum pidana untuk memperhatikan kelemahan dari individu sebagai pembelaan terhadap tuntutan pidana, atau sedikitnya sebagai peringanan hukuman. Walaupun beberapa sistem hukum modern telah melangkah jauh ke depan untuk menggantikan secara alternative sanksi social bagi hukuman dalam menghadapi orang-orang gila atau kurang waras dan kaum remaja. Untuk kasus-kasus di mana diajukan pembelaan bagi merekan yang berpenyakit jiwa dapat kita lihat dalam perundang-undangan berikut ini:
Juri harus diberitahu dalam setiap kasus, bahwa setiap orang dianggap waras, dan memiliki kekuatan akal yang cukup untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang telah dilakukan, hingga dapat dibuktikan kebalikannya demi kepuasan dan bahwa untuk mengajukan pembelaan berdasarkan keadaan tidak waras harus dibuktikan secara jelas bahwa pada saat melakukan  perbuatan pihak yang tertuduh dalam keadaan tidak waras, hungga ia tidak mengetahui macam dan sifat yang a lakukan atau jika ia mengetahuinya ia tidak menyadari bahwa ia sedang melakukan perbuatan yang salah. Ujian semacam ini diadakan seluruh Negara persemakmuran Inggris (British CommonWealth) dan hampir semua bagian Amerika Serikat.
Anggaran yang ditetapkan adalah barangsiapa yang secara apa yang benar dan yang salah dari perbuatan tertentu harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang dilakukan. Pendapat yang seperti tadi segera dapat tangtangan terutama sekali dari profesi medis, namun juga dari ahli hukum yang terkenal menekankan bahwa kegilaan itu tudak hanya atau terutama sekali mempengaruhi kemampuan untuk menyadari dan menggunakan kecerdasan, akan tetapi juga mempengaruhi keseluruan kepribadian juga meliputi keinginan dan emosinya.
Sekitar tahun 1870, sudah dihapuskkan di Negara bagian New Hampshire, mengenai pengadaan test, apakah yang melakukan pidana memikirkan niat untuk berbuat jahat. Dari segi perkembangan psikiatri modern, ilmu pengetahuan kriminologi dan konsep tentang kesalahan yang mengalamami perubahan, kritik tersebut telah menempati tempat proporsi yang luas sekali pada tahun-tahun belakangan ini, baik di Inggris maupun di Amerika Serikat.
Dalam pandangan psikiatri dan hukum modern lebih menyukai untuk dilakukan test yang lebih luas yang mengkorelasikan pertanggungjawaban pidana dengan kemampuan seseorang untuk melakuakan tindak-tanduknya sesuai syarat-syarat yang ditentukan hukum. Dengan demikian keputusan pengadilan tinggi AS (United States Court of Appeal) untuk distrik Colombia yang dibahas secara luas, telah berhasil merumuskan peratuaran “Bahwa seorang tertuduh tidaklah bertanggung jawab lagi bagi perbuatan pidana apabila tindakannya yang melawa hukum itu merupakan produk dari penyakit jiwa atau jiwa yang kurang waras”.Laporan sebagian besar dari British Royal Commission  (Komisi Kerajaan Inggris), menyarankan bahwa:
Juri haruslah merasa puas apabila pada waktu tertuduh melakukan perbuatan, sebagai akibat dari jiwa yang sakit atau jiwa yang kurang sehat:
1)      Tidak mengetahui wujud atau sifat dari perbuatan tersebut.
2)      Tidak menyadari bahwa itu adalah perbuatan yang salah.
3)      Tidak mampu untuk mengendalikan dirinya dari perbuatan tersebut.
Sebagian kecil lebih menyukai untuk menghapuskan seluruh “M’Naghten Rules”, dan terserah pada juri untuk menentukan apakah tertuduh sedang menderita penyakit jiwa atau jiwa yang kurang waras. Sehingga ia tidak dapat dimintai tanggung jawab. Model Penal Code (KUHP) yang disusun oleh Lembaga Hukum Amerika Serikat menyarankan perumusan sebagai berikut:
1)      Seseorang tidak bertanggungjawab bagi perbuatan pidana apabila dilakukan perbuatan demikian sebagai dasar dari akibat sakit jiwa atau jiwa yang kurang waras, ia kurang memiliki kemampuan yang semestinya baik untuk memahami sifat pidana dari perbuatannya (salah, melanggar undang-undang) atau untuk menyesuaikan perbuatannya dengan syarat-syarat yang ditetapkan hukum.
2)      Istilah “penyakit jiwa” atau “jiwa yang kurang waras” yang digunakan dalam fasal ini tidak menyakup kelainan (abnormalitas) yang ditunjukkan hanya dengan pengulangan perbuatan pidana atau sebaliknya perbuatan anti sosial.
Perumusan tersebut tidak hanya melengkapi apresiasi intelektual murni tentang apa yang benar dan apa yang salah dari “M’Naghten Rules” melalui test untuk mengawasi perbuatan sebagai pedoman bagi pertanggungjawaban pidana, akan tetapi juga dari Psikiatri modern sehubungan dengan penyakit jiwa sebagai tambahan bagi penyakit gila. Jiwa yang kurang waras biasanya mengandung arti suatu kemunduran (cacat) akalnya atau cacat dalam pengertian yang terjadi semenjak lahir atau semenjak usia muda. Abnormalisasi jiwa (mental) merupakan konsep yang lebih mendalam lagi, namun sangat mementingkan dua kategori orang-orang abnormal yang bukan gila maupun kurang waras akalnya, sakit ayan dan psikopat. Berbagai macam gangguan psikopat yang hampir tak ada batasnya dan masih meluas ruang lingkup bagi penyelidikan gangguan jiwa lebih merumitkan masalahnya. Peraturan M’Naghten, tidak hanya meremehkan masalah pertanggungjawaban pidana melalui pengujian atas yang benar dan salah, tetapi peraturan tadi tidak meninggalkan jejak hitam diatas putih.
Di Amerika Serikat masalahnya agak kurang jelas. Sebaliknya hukum di Skotlandia sepanjang yang menyangkut masalah pembunuhan, dan sejumlah hukum yang kontinental sudah semenjak lama menerika doktrin tentang pengurangan pertanggungjawaban dengan memberikan kepada pengadilan-pengadilan untuk mengurangi hukuman. Mungkin perumusan yang paling representatife adalah perumusan KUHP Switzerland yaitu:
1)      Badan Administratif Distrik akan melaksanakan keputusan hakim yang memerintahkan pemenjaraan, perawatan atau memindahkan ke rumah sakit para pelaku kejahatan yang tidak bertanggungjawab atau sebagian dari perbuatan mereka.
2)      Pihak yang berwenang akan memerintahkan penghentian penahanan, perawatan maupun penahanan di rumah sakit segera setelah alasan untuk itu tidak terdapat lagi.
Hakim kemudian memutus apabila dan hingga sejauh mana hukuman yang akan dijatuhkan pada para pelaku yang hanya sebagian saja bertanggungjawab terhadap kejahatan yang dilakukan.Jelaslah, perkembangan dalam psikiatri modern yang mengakui adanya pengurangan yang normal dan abnormal hingga berbagai tingkat kekuatan emosi dan kemampuan mengontrol diri ketajaman mental, memerlukan adanya elastisitas yang sesuai dalam metoda pendekatan hukum bagi masalah pertanggungjawaban pidana.Namun hal ini menimbulkan kesulitan untuk menemukan perumusan yang tepat. Dari petunjuk-petunjuk yang diberikan kepada komisi kerajaan tadi, sebagai persiapan untuk report, ikatan dokter Inggris mengajukan saran sebagai berikut:
“Apabila juri berpendapat bahwa seseorang yang dituduh pada saat melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan sakit jiwa, akal yang mundur, atau gangguan emosi sehingga tidak dapat diminta pertanggungjawaban, mereka harus mengambil keputusan bersalah dengan pertanggungjawaban yang diringankan.”
Dari segi ilmu kedokteran modern kedalam hukum, diakui terdapat kerumitan dalam diri manusia, pengertian akan adanya gaya dan emosi yang berjuang dalam dada manusia serta menghasilkan skala perbedaan yang hampir tak ada batasnya, yaitu dari keadaan normal hingga yang tidak normal, sebaliknya menimbulkan masalah yang serius. “Tout Comprende, Ce’st tout pardoner” (dari pepatah bahasa Prancis yang berarti “memahami keseluruhan masalah berarti mengampuni seluruhnya”). Terkadang masyarakat menuduh seseorang bersalah walaupun para ahli jiwa menganggap si plaku mengalami gangguan jiwa dan para ahli filsuf mungkin akan menyangkal yaitu “keinginan yang bebas” untuk memilih antara yang benar dan yang salah.
Alternatifnya haruslah antara hukuman dan harus memasuki suatu lembaga untuk pengawasan orang yang mentalnya terganggu. Dimana pelaksanaan hukuman dikesampingkan baik karena hukuman mati yang dihapuskan atau tidak diterapkan atau karena tertuduh telah terbukti bersalah namun gila. Para ahli kriminologi dan sosiologi beranggapan bahwa hukuman bagi seorang pelaku kejahatan merupakan jalan keluar, baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat zaman dahulu. Kebutuhan masyarakat ini dapat terancam oleh bahaya apabila konsep tentang gangguan mental atau penyakit jiwa terlampau diperluas.
Dalam kasus Mr. Dallas O’Williams (berasal dari New York) 19 April 1958 hal.85), yang diantara tahun 1932 dan 1958 telah ditahan lebih dari seratus kali, dijatuhi hukuman pidana berat sebelas kali, mulai dari penyerangan hingga pembunuhan.Putusan pengadilan pidana menyatakan ia gila, namun ketika dimasukkan kedalam lembaga penyakit jiwa, para dokter sulit menemukan bukti adanya gangguan mental maupun penyakit jiwa, selain kecenderungan untk melakukan kejahatan dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila kecenderungan bagi kejahatan sampai diterima sebagai penyakit jiwa sedemikian rupa hingga tanpa menambahkan unsur-unsur yang menunjukkan ketidakmampuan untuk menggunakan akal hingga tingkat minimum, atau dengan pengendali bagi dilakukannya kejahatan, maka kesempatan terbuka tidak hanya bagi prustasi yang lebih hebat dalam proses peradilan pidana, melainkan juga sama sekali melenyapkan batas-batas hukum pidana.

v  Ilustrasi “Penyelidikan Oleh Beberapa Aliran”
1)      Aliran yang berpangkal kepada penyelidikan menurut sejarah dari pada suatu keluarga.
Aliran ini melihat pada penyelidikan keluarga Jokes, Jonathan Edward dan keluarga Kalikak. Penyelidikan pada keluarga Jokes dilakukan pada tahun 1877 Penyelidikan R. Dugdall diteliti kembali pada tahun 1915 oleh Estabrook. Hasil penyelidikan, dari 1.200 anggota keluarga terdapat tujuh orang pembunuh, sepuluh orang pencuri, lima puluh orang pencuri, dan seratus empat puluh orang tersangkut perkara pidana ringan.Dalam penyelidikan ternyata anggota Jonathan E tergolong penduduk yang berkelakuan baik-baik, padahal nenek moyangnya tergolong penjahat, kaliber besar. Dari keluarga Jonathan E ini ada yang menjadi senat AS, Presiden AS dan lain-lain orang terkemuka.
Penyelidikan pada keluarga Kalikak menunjukan bahwa diantara anggota keluarga kalikak ada yang tersangkut dalam perbuatan melanggar hukum da nada yang termasuk orang-orang baik, penyelidikan lebih lanjut menunjukan bahwa anggota keluarga yang termasuk jahat adalah hasil perkawinan kalikak dengan seorang pelacur sedangkan mereka yang termasuk orang-orang baik adalah hasil perkawinannya dengan orang baik. Penyelidikan ini dilakukan oleh Goddard.
Kesimpulan, pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum dapat dipelajari menurut silsilah keluarga menurut penyelidikan tidak berhasil, sebab dalam kenyataannya tidak semua keluarga yang jahat melahirkan keturunan-keturunan jahat.
2)      Aliran yang berpangkal kepada penyelidikan otak terkebelakang.
Perbuatan melanggar hukum dihubungkan dengan keterbelakangan otak seseorang. Dalam hal keterbelakangan otak seseorang dapat digolongkan sebagai berikut:
Idiot: seseorang yang mempunyai daya berfikir tidak lebih dari anak uang berumur tiga tahun.
Imbersiel: seseorang yang daya berfikirnya tidak lebih dari anak yang berumur enam tahun.
Demiel: seseorang yang daya berfikirnya atau kemampuan berfikirnya tidak lebih dari anak yang berumur dua belas tahun.
            Untuk mengetahui seseorang termasuk golongan apa dapat diadakan dengan suatu test Intelegence Quotion. Caranya:  usia mental  x 100                                                                                              usia bilogis
 I.Q yang normal adalah 90 keatas.
            Dalam hubungannya dengan perbuatan melanggar hukum dan yang mempunyai arti bagi kriminologi adalah golongan idiot, sebab tingkah lakunya dialihkan pada anak-anak berumur lima tahun, ada pula yang berpendapat bahwa golongan yang demikianlah yang berbahaya. Namun, pendapat ini disangkal oleh Prof. Baan yang menyimpulkan bahwa golongan demilitas pun tidak pernah dikemukakan sebagai orang yang melakukan tindakan jahat.

3)      Aliran yang berpangkal kepada penyelidikan anak kembar
a)      Anak kembar yang berasal dari satu telur (Monosignotik)
Monosignotik dihasilkan dari proses sperma laki-laki membuahi satu telur (wanita) dan dari pembuahan itu telur membelah di bagian yang sama dan tiap pembelahan itu menumbuhkan calon bayi satu sama lain secara wajar, (tiap-tiap bagian dari telur yang membelah itu lahirlah manusia tersendiri, sehingga pada waktunya si ibu melahirkan dua bayi yang kembar.
b)      Anak kembar yang berasal dari dua telur (Disigotik)
Disigotik dihasilkan pada waktu sperma laki-laki membuahi telur wanita, maka yang dibuahinya itu dua telur secara bersamaan dan sekaligus, tiap-tiap yang dibuahinya melakukan prosesnya masing-masing sehingga pada waktunya lahir dua orang bayi.
Dengan sendirinya anak kembar yang berasal dari satu telur dan dua telur berbeda (akan berbeda), oleh karena anak kembar yang berasal dari dua telur sebenarnya merupakan adik dan kakak secara kebetulan saat lahirnya hampir bersamaan, sedangkan monosignotik pada umumnya banyak memiliki sifat-sifat dan jenis yang bersamaan.
Kesimpulan, anak kembar disigotik maka sifat-sifat dan tindakan lebih banyak menunjukan discordant dari pada concordant, oleh karena mereka hidup dalam dua lingkungan yang berbeda, sedangkan pada monosigotik menunjukan lebih banyak concordant dari pada discordant, karena mereka hidup dalam lingkungan yang sama.
Jika dihubungkan dengan kriminologi maka anak kembar monosigotik keduanya jahat atau keduanya tidak jahat. Sedangkan pada anak disigotik, jika yang satu melakukan pidana yang lainnya belum tentu sama tergantung lingkungannya. Kritik dari Noach:
a)      Bahwa jumlah yang diselidiki terlalu sedikit, sehingga tidak mencerminkan yang representative.
b)      Dasar dari yang disebut concordant dan discordant tidak begitu tepat, jika dilihat dari segi perbuatannya sebab dengan demikian hukuman pidana dijatuhkan tidak membedakan, misalnya pelacuran dan pencopetan.
4)      Aliran yang berpangkal kepada penyakit jiwa
Seorang psychiater bernama Kretschner, mengadakan pembagian dari penyakit jiwa untuk menyelidiki dalam hubungan antara perbuatan melanggar hukum dan penyakit jiwa, kemudian mendapat penyempurnaan dari Karl Jasper sebagai berikut;
a)      Epilepsi                                        
b)      Psychopati
c)      Schizo phraenia
d)     Psychose manisch depresif.
5)      Aliran yang mempelajari kelenjar “Endokrin”.
Para pendukung teori ini menyatakan bahwa perbuatan melanggar hukum biasanya ditimbulkan oleh desfungsinya kelenjar endokrin.Prof. Nico Gunburg berpendapat bahwa kelenjar endrokrin di bagian dalam badan (tubuh seseorang yang bekerja keluar tubuh disebut endokrin). Adapun bekerjanya kelenjar endokrin bisa melebihi fungsi yaitu bekerjanya melebihi apa yang dibutuhkan untuk kelancaran organisasi tubuhnya, sehingga menimbulkan gejala-gejala yang tidak normal kelenjar endokrin dapat bekerja kurang dari fungsinya yaitu bekerjanya tidak dapat dilayani apa yang dibutuhkan untuk organisme tubuh dan dapat pula menimbulkan gejala-gejala yang tidak normal. Oleh karena bekerjanya kelenjar endokrin yang tidak normal itu, seseorang dapat melakukan tindakan-tindakan yang tidak wajar dalam hal ini pelanggaran norma sama dengan perbuatan melanggar hukum.
Jadi, menurut Nico Gunburg bahwa ketidak seimbangan bekerjanya kelenjar endokrin dalam memenuhi pelayanannya terhadap organisme tubuh manusia dapat menyebabkan seseorang berbuat perilaku melanggar hukum.

Tidak ada komentar: