TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP MURTAD DAN HUKUMAN BAGI PELAKU
MURTAD
( Studi Kasus : Lia Aminudin )
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak
Islam diturunkan kepada manusia, maka sejak saat itulah Islam tidak monolitik
lagi. Islam, dengan demikian, dibaca, ditafsirkan, dan diamalkan sesuai dengan
perspektif penganutnya. Pada tahap ini Islam telah kukuh menjadi bagian dari
realitas historis dan realitas sosiologis, yang berkembang sesuai dengan arus
zaman.
Dari
sudut pandang agama, di Indonesia berkembang berbagai agama yang keberadaannya
beragam. Agama-agama mayoritas mendapat pengakuan Negara, yang secara otomatis
pemeluknya diakui oleh negara. Sementara agama-agama dengan jumlah minoritas
(sempalan/splinter/ subaltern) keberadaannya resah dan dilematis karena identik
dengan ajaran yang keluar dari syariat Islam yang diklaim sebagai aliran sesat
dan menyesatkan.
Penelitian
ini akan mendiskripsikan aliran jamaah Salamullah yang difatwa ”sesat dan
menyesatkan” oleh MUI untuk mengetahui aliran itu lebih dalam, dilakukan
penekanan pada latar belakang lahirnya kelompok tersebut, ide-ide yang mereka
usung, serta aksi-aksi mereka. Di dalamnya terkandung gagasan-gagasan utopis,
egoisme kelompok, kekeras kepalaan, perlawanan, dan konspirasi yang tak
terdeteksi. Ikut dilampirkan pula fatwa-fatwa MUI, yang mana juga berisi
pertimbangan MUI untuk memutuskan Aliran Salamullah Lia Eden sesat atau tidak.
Dalam
deskripsi di atas sangat jelas bahwa persoalan tentang penyesatan atau
penyimpangan agama yang terjadi akhir-akhir di Indonesia ini banyak
menimbulkan perpecahan antar umat bahkan kesatuan Republik Indonesia. Kasus
penyesatan agama atau penyimpangan agama yang terjadi merupakan kasus yang
sempat menyita perhatian publik nasional karena hal tersebut bersentuhan
langsung dengan akar konflik horizontal yaitu konflik yang berkaitan dengan
aqidah dan kepercayaan mayoritas umat beragama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Murtad (Ar-Riddah)
Secara lughowi, murtad berasal dari bahasa Arab yaitu riddah yang
merupakan isim masdar dari kata ارتداد yang artinya mundur, kembali
ke belakang. Ar-Riddah berarti menolak agama Islam dan memeluk agama lain baik
melalui perbuatan maupun secara lisan.[1]
Sedangkan secara istilah syara, para ulama mendefinisikan murtad
adalah keluarnya seseorang muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari
agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari
siapa pun. Keluar dari agama Islam dan berbalik menjadi kafir.[2]
Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad maka terhapuslah segala amal
ibadahnya di dunia dan di akhirat. Firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat
217 :
Artinya:
“Dan barang siapa diantaramu yang murtad dari agamanya lalu ia mati, sedang dia
dalam kafir, maka telah habislah amalannya dunia dan akhirat. Dan mereka itulah
yang menjadi penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah : 217)
Dengan demikian yang dimaksud dengan murtad ialah keluarnya seorang
muslim dari agama yang dianutnya (agama Islam) kepada kekafiran dengan
menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir.
Umpamanya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulullah, menghalalkan yang
haram, mengharamkan yang halal, menyembah kepada berhala, melemparkan Al-Quran
ke dalam kotoran, dll.[3]
Riddah dalam pembahasan ini adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan
baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya sendiri bukan
atas paksaan orang lain. Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan
memilih agama berbeda dengan agama orangtuanya tidak termasuk murtad begitu
pula dengan orang gila. Orang yang karena terpaksa meninggalkan keyakinan
lantaran yang diancam dan membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman yang
sangat berat sehingga menyebabkan dia harus menyelamatkan diri dengan memeluk
agama lain, juga tidak termasuk golongan riddah.
B. Hal-Hal yang Menyebabkan Murtad
1.
Karena
I’tikad (Kepercayaan)
Kepercayaan yang menyebabkan seseorang menjadi murtad ialah:
a.
Tidak
mengakui lagi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa dan tidak ada
sekutu bagi-Nya, atau ragu-ragu atas keEsaan Allah atau salah satu sifat-Nya.
b.
Tidak
mengakui lagi atau ragu-ragu bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah atau
mengingkari salah satu dari Rasul Allah.
c.
Tidak
mengakui lagi bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah melalui perantara Nabi
Muhammad SAW., atau ragu-ragu dari salah satu ayat-ayat dan hukuman yang
dinyatakan Allah dalam Al-Quran, menghinanya, melempar ke dalam suatu yang
bernajis, menginjaknya dll.
d.
Tidak
mengakui adanya malaikat-malaikat.
e.
Tidak
mengakui lagi atau ragu-ragu adanya hari akhir
f.
Tidak
percaya lagi adanya qada dan qadar
g. Mengharamkan
barang yang dihalalkan Allah dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah.
2.
Karena
Perbuatan yang Disengaja
Perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang menjadi murtad secara
sengaja dikarnakan memuja kepada selain Allah, seperti memuja berhala, memuja
kepada matahari, memuja atau sujud kepada makhluk-makhluk lain, seumpama dewa,
binatang, arwah, dan lain sebagainya.
3.
Karena
Perkataan yang Disengaja
a.
Menuduh
orang yang beragam Islam dengan tuduhan kafir atau memanggilnya dengan
kata-kata kafir. Sabda Rasulullah SAW : “Dari
Abi Dzar r.a. sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda,
“Barang siapa yang memanggil seorang laki-laki dengan panggilan kafir, atau
dikatakannya musuh Allah, padahal ia bukan seperti yang dikatakannya itu maka
kembali kata-kata itu kepada yang mengatakan. (H.R. Bukhari dan Muslim)
b.
Mengatakan
bahwa takdir itu bukan datang dari Allah atau mengatakan bahwa Allah tidak
berkuasa apa-apa atas alam ini.
c.
Mengatakan
bahwa Allah itu bukan satu akan tetapi dua, tiga dan sebagainya. Firman Allah
dalam Q.S. Al-Maidah ayat 73:
Artinya : “Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah tiga dari yang
tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Allah Yang Maha
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Q.S.
Al-Maidah : 73)
d.
Mencerca
Nabi Muhammad SAW. Atau salah seorang Nabi Allah dengan perkataan.[4]
C. Hukum dan Sanksi Murtad
Hukuman bagi
pelaku murtad, ada dua macam sanksi yang diberikan kepada pelaku murtad yaitu
Sanksi Utama (Pokok) dan Sanksi Tambahan.
1)
Sanksi Utama, yaitu dibunuh
Para ulama
sepakat bahwa pelaku murtad wajib dikenakan hukuman bunuh (al-qatl). Dalam sebuah hadits dijelaskan:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنْ
رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَحِلُّ قَتْلُ مُسْلِمٍ إِلَّا
فِي إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: زَانٍ مُحْصَنٌ فَيُرْجَمُ, وَرَجُلٌ يَقْتُلُ
مُسْلِمًا مُتَعَمِّدًا فَيُقْتَلُ, وَرَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ اَلْإِسْلَامِ
فَيُحَارِبُ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ, فَيُقْتَلُ, أَوْ يُصْلَبُ, أَوْ يُنْفَى مِنْ
اَلْأَرْضِ( . ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ (
Artinya: “Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal
membunuh seorang muslim kecuali salah satu dari tiga hal: Orang yang telah
kawin yang berzina, ia dirajam; orang yang membunuh orang Islam dengan sengaja,
ia dibunuh; dan orang yang keluar dari agama Islam lalu memerangi Allah dan
Rasul-Nya, ia dibunuh atau disalib atau dibuang jauh dari
negerinya."(Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim).
Ulama Hanafiyah
berpendapat, pelaku murtad dianjurkan untuk diberi kesempatan untuk bertaubat
sebelum dilakukan hukum bunuh. Sementara jumhur ulama menyatakan, wajib
hukumnya memberi kesempatan bertaubat kepada pelaku murtad. Apabila seseorang murtad itu sadar dan mau bertaubat serta mau memeluk
Islam semula, taubatnya diterima, dengan melalui beberapa perkara: Pertama, dia
perlu mengucap dua kalimah syahadah lagi. Kedua, dia perlu membuat pengakuan
atau ikrar di atas apa yang dia ingkar yang menyebabkan dia menjadi kafir
(murtad), dan melepaskan diri daripada segala ajaran yang menyalahi agama
Islam. Umpamanya jika dia murtad dengan sebab percaya adanya dua Tuhan atau
mengingkari risalah Nabi Muhammad S.A.W., maka sewaktu bertaubat dengan
mengucapkan dua kalimah syahadah, dia perlu membuat pengakuan yang Tuhan hanya
satu bukan dua, dan mengaku memang betul dan benar bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah nabi akhir zaman. Hendaklah seorang imam atau kepala negaranya menyuruh bertobat sampai tiga
kali, jika ia tidak mau maka bunuhlah ia. Rasul Bersabda yang artinya “Barangsiapa yang menukar agamanya maka hendaklah kamu membunuhnya.”
(Hadis riwayat al-Bukhari)
(Hadis riwayat al-Bukhari)
Mengenai tenggang
waktunya, sebagian ulama memberi batasan waktu selama tiga hari, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa dia diberi peluang untuk
bertaubat selama kira-kira dua puluh malam. Sementara ulama lainnya tidak membatasinya,
hanya secara berulang-ulang menyuruh pelaku murtad untuk bertaubat sampai ada
dugaan kuat bahwa pelaku tetap teguh dalam kemurtadannya, pada saat itulah
hukuman bunuh dilaksanakan.
Hukuman mati dalam kasus pemurtadan
telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat Mazhab Hukum Islam. Namun
jika seseorang dipaksa mengucapkan sesuatu yang berarti murtad sedangkan
hatinya tetap beriman, maka dalam keadaan demikian itu ia tidak dihukumi murtad.[5]
Firman Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 106 :
Artinya :
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar.”(Q.S. An-Nahl:106)
Penerapan hukuman
mati terhadap orang yang keluar dari agama Islam (riddah) didasari oleh
pertimbangan sebagai berikut:
o
Menolak keyakinan yang telah
diyakininya, berarti ateis.
o
Menghalalkan yang telah
diharamkan oleh Allah dan sebaliknya mengharamkan yang dihalalkan Allah.
o
Melecehkan agama berarti
melecehkan Allah, dan melecehkan Sunnah Rasulullah.[6]
2)
Sanksi Tambahan
Yaitu hilangnya
kepemilikan terhadap hartanya. Para ulama sepakat apabila pelaku murtad kembali
memeluk agama Islam, status kepemilikan hartanya berlaku seperti semula ketika
ia muslim, namun apabila pelaku murtad telah meninggal dunia atau telah dihukum
bunuh, atau bergabung kepada pihak musuh (orang-orang kafir), maka hilanglah
hak atas kepemilikan hartanya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang
apakah hilangnya hak kepemilikn harta tersebut terhitung sejak yang
bersangkutan murtad atau terhitung sejak pelaku meninggal dunia, dihukum bunuh.[7]
Mayat orang murtad yang dihukum bunuh tidak boleh diurus seperti
mayat-mayat orang Islam. Mayat tersebut tidak perlu dimandi kerana dia telah
keluar daripada Islam, tetapi kalau dimandikan ia adalah harus. Juga tidak
boleh dishalatkan kerana shalat mayat ke atas orang kafir adalah haram.
Sebagaima Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 84:
Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang
yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati
dalam keadaan fasik.” (Q.S. At-Taubah:84)
Demikian juga tidak harus dikebumi di tanah perkuburan orang Islam, bahkan
harus dikebumikan di tanah perkuburan orang kafir atau di tempat khas yang
berasingan.[8]
Orang murtad dianggap
sebagai orang yang sudah mati, kerana dia akan dijatuhkan hukum bunuh apabila
tidak mau bertaubat. Sebab itu kalau sekiranya salah seorang suami atau isteri
murtad maka pernikahan kedua-duanya terbatal, kalau sekiranya yang murtad
kembali bertaubat (masuk Islam semula) dalam masa 'idah isterinya belum habis
maka kedua-dua pasangan suami isteri tersebut dapat kembali seperti asal, tidak
perlu akad nikah baru. Tetapi kalau dia tidak bertaubat dalam masa 'idah masih
belum habis, nikah tersebut dianggap terbatal. Kalau dia bertaubat (kembali
kepada Islam semula) setelah masa iddah, dia harus akad nikah baru dengan mas
kawin baru jika mau meneruskan hubungan suami isteri yang sah.
Betigu juga dalam hal
faraidh, orang yang sudah murtad terputus hubungan dengan keluarganya dalam
persoalan harta warisan, tidak mewarisi dan tidak juga diwarisi.
D. Murtad
Perspektif Lia Aminudin (Lia Eden)
Umat
beragama di Indonesia, khususnya umat Islam kembali dikejutkan dengan
kemunculan sebuah kepercayaan atau aliran yang menamakan diri God’s Kingdom
Eden atau Kerajaan Tuhan. Pemimpinnya Lia Aminudin yang dulunya dikenal sebagai
ahli merangkai bunga. Tetapi sejak Oktober 1995, Lia membuka praktek pengobatan
alternatif. Lia mengaku sanggup menyembuhkan berbagai penyakit hanya dengan
meraba dan menyentuh bagian-bagian tubuh orang yang sakit, Lia Aminuddin atau
lebih dikenal sebagai Lia Eden lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 21
Agustus 1947 seorang
pemimpin kelompok kepercayaan bernama
Kaum Eden. Ibunya bernama Zainab, dan bapaknya bernama Abdul Ghaffar Gustaman,
seorang pedagang dan pengkhutbah Islam aliran Muhammadiyah. Pada
umur 19 tahun, Lia menikah dengan Aminuddin Day, seorang dosen di Universitas Indonesia dan
dikaruniai empat orang anak.
Lia Eden
tidak mempunyai pendidikan khusus dalam bidang agama, bahkan dia tak pandai
mengaji Al Qur’an. Keberagamaan Lia Eden adalah keberagamaan awam sebagaimana
masyarakat kebanyakan. Lia Eden besar dan menempuh pendidikan di Surabaya.
Secara formal, Lia hanya memiliki ijazah SMP. Pendidikan SMA ditempuhnya sampai
selesai, tetapi Lia tak mengambil ijazah SMA-nya.
Selain
dikenal luas sebagai perangkai bunga kering, Lia Eden juga aktif dalam berbagai
kegiatan pelayanan sosial. Selama bertahun-tahun Lia aktif menyantuni
narapidana. Selain mengurusi berbagai kepentingan narapidana, Lia aktif
memberikan pendidikan keterampilan kepada para narapidana, diantaranya Lapas
Wanita Tangerang dan Lapas Cipinang melalui Yayasan Fajar Harapan yang
didirikannya.[9]
Menurut
Lia Eden, peristiwa ajaibnya yang pertama adalah sewaktu dia melihat sebuah
bola bercahaya kuning berputar di udara dan lenyap sewaktu baru saja ada di
atas kepalanya. Hal ini terjadi sewaktu dia sedang bersama dengan kakak
mertuanya di serambi rumahnya di kawasan Senen, Jakarta Pusat pada 1974.
Menurutnya lagi, peristiwa ajaib kedua yang telah megubah prinsip hidupnya
berlaku pada malam 27
Oktober 1995 kala
dia sedang bersantai. Pada masa itu, dia telah merasakan kehadiran pemimpin
rohaninya, Habib al-Huda yang kemudian mengaku dirinya sebagai Jibril pada
waktu itu.
Setelah
itu Lia Eden mengaku dia menerima bimbingan Malaikat Jibril secara terus
menerus sejak 1997. Selama
dalam proses pembimbingan itu, ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan
dan mendidik Lia Eden melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat,
termasuk pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya kepada
masyarakat atas perintah Jibril.
Di dalam
penyuciannya, ia mengatakan bahwa Tuhan menyatakan Lia Eden sebagai pasangan
Jibril sebagaimana ditulis di dalam kitab-kitab suci. Dan ia mengatakan bahwa
dialah yang dinyatakan Tuhan sebagai sosok surgawi-Nya di dunia. Selain
menganggap dirinya sebagai menyebarkan wahyu Tuhan dengan perantaraan Jibril,
dia juga menganggap dirinya memiliki kemampuan untuk meramalkan kiamat. Dia
juga telah mengarang lagu, drama dan juga buku sebanyak 232 halaman berjudul, "Perkenankan
Aku Menjelaskan Sebuah Takdir" yang ditulis dalam waktu 29 jam.
Pada 1998, Lia
menyebut dirinya Mesias yang
muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk
membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu, dia juga menyebut dirinya
sebagai reinkarnasi Bunda
Maria, ibu dari Yesus
Kristus. Lia juga mengatakan bahwa anaknya, Ahmad
Mukti, adalah reinkarnasi Isa. Pemahaman yang dibawa oleh Lia ini berhasil
mendapat kurang lebih 100 penganut pada awal diajarkannya. Penganut agama ini
terdiri dari para pakar budaya, golongan cendekiawan, artis musik, drama dan
juga pelajar. Mereka disebut sebagai pengikut Salamullah.
Pada
tahun 2000,
Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai nama kelompok.
Kelompok Salamullah mengakui bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir tetapi juga
mempercayai bahwa pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha
Gautama, Yesus
Kristus, dan Kwan Im, dewi
pembawa rahmat yang disembah orang Tionghoa, akan
muncul kembali di dunia.
Sejak 2003,
kelompok Salamullah ini memegang kepercayaan bahwa setiap agama adalah benar.
Kelompok yang diketuai Lia Eden ini yang kemudian berubah nama yang kini
dikenal sebagai Kaum Eden.[10] Lia
bercerai dengan suaminya yang mantan anggota TNI-AU. Sejak itu, Lia tak hanya
mengaku menjadi istri malaikat Jibril. Tapi, akhirnya dia mengklaim sebagai
malaikat Jibril dan Imam Mahdi. "Sejak itu, Lia tak mau disebut
pengikutnya sebagai Lia Aminuddin, tapi Lia Eden karena Yayasan Salamullah
sudah berubah nama menjadi komunitas Eden," terang Abdurrahman. Sejak itu,
Lia Eden berubah penampilan. Lia selalu mengenakan pakaian putih-putih dengan
ikat kepala. Lia juga mulai menyebarkan keyakinannya kepada orang lain. Lia
yang mengaku sebagia Ruhul Kudus dan bersumpah menyebarkan keyakinannya,
termasuk mendirikan surga di Indonesia. Lia pun kemudian dipanggil sebagai Lia
Eden atau Bunda Lia Eden oleh pengikutnya.
Pelan tapi pasti. Keyakinan Lia mulai ada yang mengikutinya. Lia dan para
pengikutnya juga mulai melakukan berbagai kegiatan untuk menyebarkan ajaran
mereka. Berbagai media mereka gunakan untuk menyebarkan ajarannya. Seperti vcd,
brosur, pamflet, website, surat dan blog yang beralamat di http://sebuahpilihan.wordpress.com/.
Dalam menjaring
pengikut, Lia Aminudin melakukannya melalui pengobatan alternatif. Pasien yang
awalnya datang kepadanya untuk berobat kemudian diindoktrinasi untuk mengikuti
jalannya.[11]
Akibat perbuatannya ia segera
menjadi batu sandungan bagi Majelis Ulama Indonesia dan juga anasir-anasir
radikal Islam. Ia ditangkap atas dasar penistaan agama, dan pengadilan
menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepadanya. Antara lain atas dakwaan
mengajarkan shalat bukan hanya dalam satu bahasa Arab, memelintirkan tafsiran
pada sejumlah ayat-ayat Al-Quran demi mendukung gagasan ke-jibrilan-nya, serta
menghalalkan makan babi. Lia Eden divonis dua
tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni
2006 karena terbukti melakukan penodaan agama dan melakukan perbuatan tidak
menyenangkan. Ajaran Eden sesat dan bahkan dinilai telah menodai agama yang
dilindungi UU. Lia Eden
sempat meminta majelis hakim untuk menghadirkan Jibril ke persidangan. Ia
menyatakan, pertanyaan majelis hakim seharusnya ditujukan kepada Jibril, bukan
dirinya. Namun dipenjara selama 2 tahun tidak membuat pimpinan Kerajaan Eden
ini tobat dari iman dan ajarannya. Setelah bebas dari Rutan Pondok Bambu pada
30 Oktober 2007, ia menyatakan akan terus melanjutkan ajarannya meskipun
divonis sebagai ajaran sesat oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan MUI. Dan
benarlah! Tak lama kemudian Lia meneruskan ajaran yang diyakininya, dan
belakangan ini ia ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman selama dua setengah
tahun! Lia terbukti bersalah melakukan penistaan dan penodaan agama.
Polisi menetapkan Lia Aminudin sebagai tersangka dengan tuduhan penodaan
agama dan penghasutan, sesuai dengan pasal 156 A 335 KUHP. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Juni
2009, dan menyatakan Lia terbukti melakukan penistaan agama karena telah
menyebarkan 4 risalah kepada berbagai institusi termasuk Presiden RI pada
tanggal 23 November hingga 2 Desember 2008. Diantaranya pernyataan menyerukan
penghapusan agama islam dan agama-agama lainnya. Sekalipun Lia Eden ditetapkan
menjadi terdakwa dengan tuduhan penodaan atas agama Islam, namun ia bersikukuh
berpendapat bahwa penghapusan agama yang dimintanya bukan penodaan agama.
Melalui rilis yang dibagikan di Polda Metro Jaya, Jakarta tertanggal
16/12/2008, Lia Eden menyebutkan, tidak ada pasal hukum apa pun yang dapat
dipaksakan untuk menjerat dia atau pengikutnya sebagai tersangka. Berikut
edaran Lia Eden: Aku Malaikat Jibril turun tangan menjadikan peristiwa ini
untuk memperjelas hukum yang salah, yaitu pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama
yang telah 2 kali ingin dijeratkan sebagai kesalahan Lia Eden. Itu karena tidak
ada pasal hukum yang bisa dipakai. Tetapi apakah keadilan hukum dapat
diharapkan sedemikian. Fatwa Tuhan tentang penghapusan semua agama bukan
kejahatan penodaan agama.
Menurut pendapat Luthfie Assyaukanie PhD., saksi ahli untuk UU
Penodaan Agama ini mencontohkan kesamaan seorang Lia Eden dengan Nabi Muhammad
Saw. dalam hal yang dipersalahkan masyarakat. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi
di Gedung MK, tanggal 17 Februari 2010, saksi ahli ini menilai kasus Lia Eden
sama dengan awal penyebaran Islam oleh nabi Muhammad SAW. Dalam pandangan ilmu
keislamannya yang jernih, ia cukup berani berkata: “Apa yang dilakukan oleh Lia
Aminudin, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam.” Menurut dia, awalnya
Islam (dianggap) salah menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh
kelompok mayoritas. Hal ini sama dengan sekarang, anggapan dan perlakuan orang
terhadap Lia Eden.[12]
Pada hari
selasa, 4 Nopember 1997, Lia Aminuddin memberikan penjelasan kepada Sekretaris
Komisi Fatwa MUI bahwa ia didampingi
Malaikat Jibril.
Kemudian pada tanggal 11 November 1997 Lia menjelaskan dalam Sidang
Komisi Fatwa ia merasa dikecewakan oleh sikap Anton Medan dan dua kiai (Nur
Muhammad Iskandar SQ dan Zainuddin MZ) mengenai masalah Yayasan At-Ta’ibin, Lia
setiap malam menangis dan mengadu kepada Allah tentang ketidak adilan dan
kebenaran yang dirasakannya tidak ada. Lia yang mengaku sangat awam dalam
bidang agama Islam pada suatu malam mengalami suatu peristiwa: seluruh badan
bergetar, keringat bercucuran, tetapi ia merasa kedinginan. Esok harinya
tiba-tiba bisa melihat segala sesuatu (misalnya ia dapat mengetahui bahwa
sebuah mobil yang dilihatnya adalah hasil korupsi) dan dapat mengobati berbagai
penyakit. Setelah itu, ia didatangi oleh mahluk gaib yang kemudian
mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Makhluk itu
kemudian diketahui (mengaku) sebagai malaikat Bernama Habib al-Huda. Pada suatu
hari, seorang pasien bernama Indra yang menurut Lia, kasyaf
jin memberitahukan bahwa pendamping Lia Aminuddin adalah Malak Jibril. Kemudian
di hari lain, datang lagi seorang yang memberikan kesaksian serupa. Dan ketika
Lia Aminuddin bertanya kepada pendampingnya tentang kebenaran kesaksian dua
orang tersebut, penndamping itu membenarkan dan mengaku bahwa sebenarnya ia
adalah Malak Jibril. Kemudian Lia Aminuddin disuruh beribadah umrah oleh
”Jibril” untuk mendapat kesaksian (pembuktian) bahwa ia adalah Jibril.
Sepanjang perjalanan umrah ia melihat peristiwa-peristiwa yang memberikan
keyakinan kepadanya bahwa pendampingnya adalah benar-benar Jibril. Lia
Aminuddin pun juga menjelaskan bahwa ia dapat berkomunikasi dengan Jibrilnya
jika ia memerlukan dan Jibril tidak bisa datang semaunya. Tegasnya, kedatangan
Jibril tidak bergantung pada Lia Aminuddin, kecuali jika ada amanat yang harus
disampaikan kepadanya.
Tinjauan
Hukum Terhadap Kemurtadan Lia Eden
Dari pembahasan diatas, berdasarkan fatwa MUI ajaran yang
disebarkan oleh Lia Eden merupakan aliran sesat. Lia mengaku bahwa dirinya
sebagai Imam Mahdi, bunda Maria, titisan Malaikat Jibril, dan mengaku sebagai
nabi yang diutus oleh Allah melalui wahyu yang disampaikan oleh Malaikat
Jibril.
Sedangkan menurut tinjauan hukum Islam Hukum mengaku sebagai Nabi
Sesudah Nabi muhammad SAW., berarti ia telah keluar dari agama Islam atau kufur
karena ia telah menentang nash yang qath’i dari Al-Qur’an dan Hadits-hadits
Nabi Saw. yang shahih serta bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan pendapat)
kaum Muslimin.[13]
Firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 40 :
Artinya:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. AL-Ahzab:40)
Ayat diatas jelas dan tegas mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw.
adalah ‘Khataman Nabiyyin’. Nabi penutup, nabi paling akhir, tidak ada
lagi nabi sesudahnya.
Berdasarkan tinjauan hukum Islam
bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh Lia Eden merupakan perbuatan riddah,
dan hukuman riddah menurut Hukum pidana Islam, pertama-tama disuruh bertaubat
jika ia enggan bertaubat maka pelaku murtad tersebut harus dibunuh sesuai
dengan Firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah ayat 33 dan hadits Rasulullah yang
menghalalkan darah orang yang keluar dari agama Islam (murtad).
Namun, dikarnakan Indonesia menganut hukum yang merupakan warisan
dari Belanda dan tidak menerapkan hukum Islam sebagai Qanun, maka hukuman yang
dijatuhkan kepada pemimpin kerajaan Tuhan Lia Eden dihukum berdasarkan
ketentuan Undang-Undang, Lia Eden divonis dua tahun penjara
oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni 2006 dan
kembali ditahan awal Juni 2009 sesuai dengan pasal 156 A 335 KUHP tentang penodaan agama dan melakukan
perbuatan tidak menyenangkan.
BAB III
KESIMPULAN
Secara lughowi, murtad berasal dari bahasa Arab yaitu riddah yang
merupakan isim masdar dari kata ارتداد yang artinya mundur, kembali
ke belakang. Sedangkan secara istilah syara, para ulama mendefinisikan murtad
adalah keluarnya seseorang muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari
agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari
siapa pun.
Hukuman bagi
pelaku murtad ada dua yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan, hukuman pokok
berdasarkan Firman Allah Swt. dan Hadits Rasulullah Saw. yaitu dibunuh jika
pelaku murtad tidak mau disiruh bertobat dan tetap pada pendirian terhadap
agama barunya. Sementara hukuman tambahan yaitu dirampas harta kekayaannya,
mengenai waktu pengambilannya ulama berbeda pendapat apakah dirampas pada saat
ia murtad atau setelah ia dieksekusi mati.
Belakangan ini banyak bermunculan
aliran-aliran sesat salah satunya aliran yang dipimpin oleh Lia Aminudin atau
dikenal dengan Lia Eden, ia mengaku bahwa dirinya merupakan utusan dari Allah
yang menerima wahyu melalui bimbingan Malaikat Jibril dan fatwa dari Tuhan
untuk menghapuskan semua agama, sebagaimana edaran yang dikirimkannya kepada
Presiden Republik Indonesia.
Akibat perbuatannya yang sesat
rumahnya diamuk warga karena tidak senang dengan perbuatannya tersebut. Pada
tahun 1997 aliran Lia Eden diputuskan sebagai aliran sesat oleh MUI melalui
Fatwanya, akan teteapi Lia Eden tetap menyebarkan ajarannya dan terus merekrut
pengikutnya. Pada tahun 2006 ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditagkap serta
dibawa ke Polda Metro Jaya bersama pengikutnya, ia divonis 2 tahun penjara,
namun setelah ia bebas pada tahun 2008 ia tidak berhenti menyebarkan agamanya,
dan akhirnya pada tahun 2009 ia kembali ditahan oleh polisi karena telah melakukan
penodaan terhadap agama dan dihukum dua setengah tahun penjara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin.
2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Amin, Muhammad Suma dkk. 2001. Pidana Islam
di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dimyathi, Ahmad Badruzzaman. 1993. Umat
Bertanya Ulama Menjawab. Bandung: Sinar Baru.
Mas’ud, Ibnu. dan Abidin, Zainal. 2007. Fiqih
Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia.
Rahman, Abdur I Doi. 1992. Tindak Pidana
dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
[1] Prof. Abdur Rahman I Doi Ph. D. Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1992), cetakan pertama, hal. 72.
[2] Drs. H. Ibnu Mas’ud dan Drs. H. Zainal Abidin S., Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. II, hal.
526.
[3] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA, SH., dkk, Pidana Islam di
Indonesia, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), cetakan pertama hal. 64.
[4] Drs. H. Ibnu Mas’ud dan Drs. H. Zainal Abidin S., Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. II, Hal.
528
[5] Prof. Abdur Rahman I Doi Ph. D. Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1992), cetakan pertama, hal. 73.
[6] Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.A. Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, hal. 77.
[7] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA, SH., dkk, Pidana Islam di
Indonesia, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), cetakan pertama hal. 70.
[13] K.H. Drs. Ahmad Dimayathi Badruzzaman, M. Ag., Umat Bertanya Ulama
Menjawab, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993), Cet. 1. Hal. 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar