Halaman

Jumat, 21 Juni 2013

Analisis Kasus Murtad

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP MURTAD DAN HUKUMAN BAGI PELAKU MURTAD
( Studi Kasus : Lia Aminudin )

BAB I
PENDAHULUAN
Sejak Islam diturunkan kepada manusia, maka sejak saat itulah Islam tidak monolitik lagi. Islam, dengan demikian, dibaca, ditafsirkan, dan diamalkan sesuai dengan perspektif penganutnya. Pada tahap ini Islam telah kukuh menjadi bagian dari realitas historis dan realitas sosiologis, yang berkembang sesuai dengan arus zaman.
Dari sudut pandang agama, di Indonesia berkembang berbagai agama yang keberadaannya beragam. Agama-agama mayoritas mendapat pengakuan Negara, yang secara otomatis pemeluknya diakui oleh negara. Sementara agama-agama dengan jumlah minoritas (sempalan/splinter/ subaltern) keberadaannya resah dan dilematis karena identik dengan ajaran yang keluar dari syariat Islam yang diklaim sebagai aliran sesat dan menyesatkan.
Penelitian ini akan mendiskripsikan aliran jamaah Salamullah yang difatwa ”sesat dan menyesatkan” oleh MUI untuk mengetahui aliran itu lebih dalam, dilakukan penekanan pada latar belakang lahirnya kelompok tersebut, ide-ide yang mereka usung, serta aksi-aksi mereka. Di dalamnya terkandung gagasan-gagasan utopis, egoisme kelompok, kekeras kepalaan, perlawanan, dan konspirasi yang tak terdeteksi. Ikut dilampirkan pula fatwa-fatwa MUI, yang mana juga berisi pertimbangan MUI untuk memutuskan Aliran Salamullah Lia Eden sesat atau tidak.
Dalam deskripsi di atas sangat jelas bahwa persoalan tentang penyesatan atau penyimpangan agama yang terjadi akhir-akhir di  Indonesia ini banyak menimbulkan perpecahan antar umat bahkan kesatuan Republik Indonesia. Kasus penyesatan agama atau penyimpangan agama yang terjadi merupakan kasus yang sempat menyita perhatian publik nasional karena hal tersebut bersentuhan langsung dengan akar konflik horizontal yaitu konflik yang berkaitan dengan aqidah dan kepercayaan mayoritas umat beragama Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Murtad (Ar-Riddah)
Secara lughowi, murtad berasal dari bahasa Arab yaitu riddah yang merupakan isim masdar dari kata ارتداد  yang artinya mundur, kembali ke belakang. Ar-Riddah berarti menolak agama Islam dan memeluk agama lain baik melalui perbuatan maupun secara lisan.[1]
Sedangkan secara istilah syara, para ulama mendefinisikan murtad adalah keluarnya seseorang muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun. Keluar dari agama Islam dan berbalik menjadi kafir.[2] Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad maka terhapuslah segala amal ibadahnya di dunia dan di akhirat. Firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 217 :

Artinya: “Dan barang siapa diantaramu yang murtad dari agamanya lalu ia mati, sedang dia dalam kafir, maka telah habislah amalannya dunia dan akhirat. Dan mereka itulah yang menjadi penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah : 217)
Dengan demikian yang dimaksud dengan murtad ialah keluarnya seorang muslim dari agama yang dianutnya (agama Islam) kepada kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir. Umpamanya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulullah, menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, menyembah kepada berhala, melemparkan Al-Quran ke dalam kotoran, dll.[3] Riddah dalam pembahasan ini adalah kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya sendiri bukan atas paksaan orang lain. Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih agama berbeda dengan agama orangtuanya tidak termasuk murtad begitu pula dengan orang gila. Orang yang karena terpaksa meninggalkan keyakinan lantaran yang diancam dan membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman yang sangat berat sehingga menyebabkan dia harus menyelamatkan diri dengan memeluk agama lain, juga tidak termasuk golongan riddah.

B.  Hal-Hal yang Menyebabkan Murtad
1.      Karena I’tikad (Kepercayaan)
Kepercayaan yang menyebabkan seseorang menjadi murtad ialah:
a.       Tidak mengakui lagi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, atau ragu-ragu atas keEsaan Allah atau salah satu sifat-Nya.
b.      Tidak mengakui lagi atau ragu-ragu bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah atau mengingkari salah satu dari Rasul Allah.
c.       Tidak mengakui lagi bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah melalui perantara Nabi Muhammad SAW., atau ragu-ragu dari salah satu ayat-ayat dan hukuman yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran, menghinanya, melempar ke dalam suatu yang bernajis, menginjaknya dll.
d.      Tidak mengakui adanya malaikat-malaikat.
e.       Tidak mengakui lagi atau ragu-ragu adanya hari akhir
f.       Tidak percaya lagi adanya qada dan qadar
g.    Mengharamkan barang yang dihalalkan Allah dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah.
2.      Karena Perbuatan yang Disengaja
Perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang menjadi murtad secara sengaja dikarnakan memuja kepada selain Allah, seperti memuja berhala, memuja kepada matahari, memuja atau sujud kepada makhluk-makhluk lain, seumpama dewa, binatang, arwah, dan lain sebagainya.
3.      Karena Perkataan yang Disengaja
a.      Menuduh orang yang beragam Islam dengan tuduhan kafir atau memanggilnya dengan kata-kata kafir. Sabda Rasulullah SAW : “Dari Abi Dzar r.a. sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “Barang siapa yang memanggil seorang laki-laki dengan panggilan kafir, atau dikatakannya musuh Allah, padahal ia bukan seperti yang dikatakannya itu maka kembali kata-kata itu kepada yang mengatakan. (H.R. Bukhari dan Muslim)
b.      Mengatakan bahwa takdir itu bukan datang dari Allah atau mengatakan bahwa Allah tidak berkuasa apa-apa atas alam ini.
c.       Mengatakan bahwa Allah itu bukan satu akan tetapi dua, tiga dan sebagainya. Firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah ayat 73:

Artinya : “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah tiga dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Allah Yang Maha Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Q.S. Al-Maidah : 73)
d.      Mencerca Nabi Muhammad SAW. Atau salah seorang Nabi Allah dengan perkataan.[4]

C.  Hukum dan Sanksi Murtad
Hukuman bagi pelaku murtad, ada dua macam sanksi yang diberikan kepada pelaku murtad yaitu Sanksi Utama (Pokok) dan Sanksi Tambahan.
1)      Sanksi Utama, yaitu dibunuh
Para ulama sepakat bahwa pelaku murtad wajib dikenakan hukuman bunuh (al-qatl). Dalam sebuah hadits dijelaskan:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَحِلُّ قَتْلُ مُسْلِمٍ إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: زَانٍ مُحْصَنٌ فَيُرْجَمُ, وَرَجُلٌ يَقْتُلُ مُسْلِمًا مُتَعَمِّدًا فَيُقْتَلُ, وَرَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ اَلْإِسْلَامِ فَيُحَارِبُ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ, فَيُقْتَلُ, أَوْ يُصْلَبُ, أَوْ يُنْفَى مِنْ اَلْأَرْضِ( . ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ (
Artinya: “Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali salah satu dari tiga hal: Orang yang telah kawin yang berzina, ia dirajam; orang yang membunuh orang Islam dengan sengaja, ia dibunuh; dan orang yang keluar dari agama Islam lalu memerangi Allah dan Rasul-Nya, ia dibunuh atau disalib atau dibuang jauh dari negerinya."(Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim).
Ulama Hanafiyah berpendapat, pelaku murtad dianjurkan untuk diberi kesempatan untuk bertaubat sebelum dilakukan hukum bunuh. Sementara jumhur ulama menyatakan, wajib hukumnya memberi kesempatan bertaubat kepada pelaku murtad. Apabila seseorang murtad itu sadar dan mau bertaubat serta mau memeluk Islam semula, taubatnya diterima, dengan melalui beberapa perkara: Pertama, dia perlu mengucap dua kalimah syahadah lagi. Kedua, dia perlu membuat pengakuan atau ikrar di atas apa yang dia ingkar yang menyebabkan dia menjadi kafir (murtad), dan melepaskan diri daripada segala ajaran yang menyalahi agama Islam. Umpamanya jika dia murtad dengan sebab percaya adanya dua Tuhan atau mengingkari risalah Nabi Muhammad S.A.W., maka sewaktu bertaubat dengan mengucapkan dua kalimah syahadah, dia perlu membuat pengakuan yang Tuhan hanya satu bukan dua, dan mengaku memang betul dan benar bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi akhir zaman. Hendaklah seorang imam atau kepala negaranya menyuruh bertobat sampai tiga kali, jika ia tidak mau maka bunuhlah ia. Rasul Bersabda yang artinya “Barangsiapa yang menukar agamanya maka hendaklah kamu membunuhnya.”
(Hadis riwayat al-Bukhari)
Mengenai tenggang waktunya, sebagian ulama memberi batasan waktu selama tiga hari, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa dia diberi peluang untuk bertaubat selama kira-kira dua puluh malam.  Sementara ulama lainnya tidak membatasinya, hanya secara berulang-ulang menyuruh pelaku murtad untuk bertaubat sampai ada dugaan kuat bahwa pelaku tetap teguh dalam kemurtadannya, pada saat itulah hukuman bunuh dilaksanakan.
            Hukuman mati dalam kasus pemurtadan telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat Mazhab Hukum Islam. Namun jika seseorang dipaksa mengucapkan sesuatu yang berarti murtad sedangkan hatinya tetap beriman, maka dalam keadaan demikian  itu ia tidak dihukumi murtad.[5] Firman Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 106 :

Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”(Q.S. An-Nahl:106)
            Penerapan hukuman mati terhadap orang yang keluar dari agama Islam (riddah) didasari oleh pertimbangan sebagai berikut:
o   Menolak keyakinan yang telah diyakininya, berarti ateis.
o   Menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah dan sebaliknya mengharamkan yang dihalalkan Allah.
o   Melecehkan agama berarti melecehkan Allah, dan melecehkan Sunnah Rasulullah.[6]
2)      Sanksi Tambahan
Yaitu hilangnya kepemilikan terhadap hartanya. Para ulama sepakat apabila pelaku murtad kembali memeluk agama Islam, status kepemilikan hartanya berlaku seperti semula ketika ia muslim, namun apabila pelaku murtad telah meninggal dunia atau telah dihukum bunuh, atau bergabung kepada pihak musuh (orang-orang kafir), maka hilanglah hak atas kepemilikan hartanya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang apakah hilangnya hak kepemilikn harta tersebut terhitung sejak yang bersangkutan murtad atau terhitung sejak pelaku meninggal dunia, dihukum bunuh.[7]
Mayat orang murtad yang dihukum bunuh tidak boleh diurus seperti mayat-mayat orang Islam. Mayat tersebut tidak perlu dimandi kerana dia telah keluar daripada Islam, tetapi kalau dimandikan ia adalah harus. Juga tidak boleh dishalatkan kerana shalat mayat ke atas orang kafir adalah haram.

Sebagaima Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 84:

Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Q.S. At-Taubah:84)
Demikian juga tidak harus dikebumi di tanah perkuburan orang Islam, bahkan harus dikebumikan di tanah perkuburan orang kafir atau di tempat khas yang berasingan.[8]
Orang murtad dianggap sebagai orang yang sudah mati, kerana dia akan dijatuhkan hukum bunuh apabila tidak mau bertaubat. Sebab itu kalau sekiranya salah seorang suami atau isteri murtad maka pernikahan kedua-duanya terbatal, kalau sekiranya yang murtad kembali bertaubat (masuk Islam semula) dalam masa 'idah isterinya belum habis maka kedua-dua pasangan suami isteri tersebut dapat kembali seperti asal, tidak perlu akad nikah baru. Tetapi kalau dia tidak bertaubat dalam masa 'idah masih belum habis, nikah tersebut dianggap terbatal. Kalau dia bertaubat (kembali kepada Islam semula) setelah masa iddah, dia harus akad nikah baru dengan mas kawin baru jika mau meneruskan hubungan suami isteri yang sah.
Betigu juga dalam hal faraidh, orang yang sudah murtad terputus hubungan dengan keluarganya dalam persoalan harta warisan, tidak mewarisi dan tidak juga diwarisi.

D.  Murtad Perspektif Lia Aminudin (Lia Eden)
Umat beragama di Indonesia, khususnya umat Islam kembali dikejutkan dengan kemunculan sebuah kepercayaan atau aliran yang menamakan diri God’s Kingdom Eden atau Kerajaan Tuhan. Pemimpinnya Lia Aminudin yang dulunya dikenal sebagai ahli merangkai bunga. Tetapi sejak Oktober 1995, Lia membuka praktek pengobatan alternatif. Lia mengaku sanggup menyembuhkan berbagai penyakit hanya dengan meraba dan menyentuh bagian-bagian tubuh orang yang sakit, Lia Aminuddin atau lebih dikenal sebagai Lia Eden lahir di Surabaya, Jawa Timur, 21 Agustus 1947 seorang pemimpin kelompok kepercayaan bernama Kaum Eden. Ibunya bernama Zainab, dan bapaknya bernama Abdul Ghaffar Gustaman, seorang pedagang dan pengkhutbah Islam aliran Muhammadiyah. Pada umur 19 tahun, Lia menikah dengan Aminuddin Day, seorang dosen di Universitas Indonesia dan dikaruniai empat orang anak.
Lia Eden tidak mempunyai pendidikan khusus dalam bidang agama, bahkan dia tak pandai mengaji Al Qur’an. Keberagamaan Lia Eden adalah keberagamaan awam sebagaimana masyarakat kebanyakan. Lia Eden besar dan menempuh pendidikan di Surabaya. Secara formal, Lia hanya memiliki ijazah SMP. Pendidikan SMA ditempuhnya sampai selesai, tetapi Lia tak mengambil ijazah SMA-nya.
Selain dikenal luas sebagai perangkai bunga kering, Lia Eden juga aktif dalam berbagai kegiatan pelayanan sosial. Selama bertahun-tahun Lia aktif menyantuni narapidana. Selain mengurusi berbagai kepentingan narapidana, Lia aktif memberikan pendidikan keterampilan kepada para narapidana, diantaranya Lapas Wanita Tangerang dan Lapas Cipinang melalui Yayasan Fajar Harapan yang didirikannya.[9]

Pengakuan Lia Eden Bertemu dengan Malaikat Jibril
Menurut Lia Eden, peristiwa ajaibnya yang pertama adalah sewaktu dia melihat sebuah bola bercahaya kuning berputar di udara dan lenyap sewaktu baru saja ada di atas kepalanya. Hal ini terjadi sewaktu dia sedang bersama dengan kakak mertuanya di serambi rumahnya di kawasan Senen, Jakarta Pusat pada 1974. Menurutnya lagi, peristiwa ajaib kedua yang telah megubah prinsip hidupnya berlaku pada malam 27 Oktober 1995 kala dia sedang bersantai. Pada masa itu, dia telah merasakan kehadiran pemimpin rohaninya, Habib al-Huda yang kemudian mengaku dirinya sebagai Jibril pada waktu itu.
Setelah itu Lia Eden mengaku dia menerima bimbingan Malaikat Jibril secara terus menerus sejak 1997. Selama dalam proses pembimbingan itu, ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan dan mendidik Lia Eden melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat, termasuk pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya kepada masyarakat atas perintah Jibril.
Di dalam penyuciannya, ia mengatakan bahwa Tuhan menyatakan Lia Eden sebagai pasangan Jibril sebagaimana ditulis di dalam kitab-kitab suci. Dan ia mengatakan bahwa dialah yang dinyatakan Tuhan sebagai sosok surgawi-Nya di dunia. Selain menganggap dirinya sebagai menyebarkan wahyu Tuhan dengan perantaraan Jibril, dia juga menganggap dirinya memiliki kemampuan untuk meramalkan kiamat. Dia juga telah mengarang lagu, drama dan juga buku sebanyak 232 halaman berjudul, "Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir" yang ditulis dalam waktu 29 jam.
Pada 1998, Lia menyebut dirinya Mesias yang muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu, dia juga menyebut dirinya sebagai reinkarnasi Bunda Maria, ibu dari Yesus Kristus. Lia juga mengatakan bahwa anaknya, Ahmad Mukti, adalah reinkarnasi Isa. Pemahaman yang dibawa oleh Lia ini berhasil mendapat kurang lebih 100 penganut pada awal diajarkannya. Penganut agama ini terdiri dari para pakar budaya, golongan cendekiawan, artis musik, drama dan juga pelajar. Mereka disebut sebagai pengikut Salamullah.
Pada tahun 2000, Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai nama kelompok. Kelompok Salamullah mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir tetapi juga mempercayai bahwa pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha Gautama, Yesus Kristus, dan Kwan Im, dewi pembawa rahmat yang disembah orang Tionghoa, akan muncul kembali di dunia.
Sejak 2003, kelompok Salamullah ini memegang kepercayaan bahwa setiap agama adalah benar. Kelompok yang diketuai Lia Eden ini yang kemudian berubah nama yang kini dikenal sebagai Kaum Eden.[10] Lia bercerai dengan suaminya yang mantan anggota TNI-AU. Sejak itu, Lia tak hanya mengaku menjadi istri malaikat Jibril. Tapi, akhirnya dia mengklaim sebagai malaikat Jibril dan Imam Mahdi. "Sejak itu, Lia tak mau disebut pengikutnya sebagai Lia Aminuddin, tapi Lia Eden karena Yayasan Salamullah sudah berubah nama menjadi komunitas Eden," terang Abdurrahman. Sejak itu, Lia Eden berubah penampilan. Lia selalu mengenakan pakaian putih-putih dengan ikat kepala. Lia juga mulai menyebarkan keyakinannya kepada orang lain. Lia yang mengaku sebagia Ruhul Kudus dan bersumpah menyebarkan keyakinannya, termasuk mendirikan surga di Indonesia. Lia pun kemudian dipanggil sebagai Lia Eden atau Bunda Lia Eden oleh pengikutnya.
Pelan tapi pasti. Keyakinan Lia mulai ada yang mengikutinya. Lia dan para pengikutnya juga mulai melakukan berbagai kegiatan untuk menyebarkan ajaran mereka. Berbagai media mereka gunakan untuk menyebarkan ajarannya. Seperti vcd, brosur, pamflet, website, surat dan blog yang beralamat di http://sebuahpilihan.wordpress.com/.
Dalam menjaring pengikut, Lia Aminudin melakukannya melalui pengobatan alternatif. Pasien yang awalnya datang kepadanya untuk berobat kemudian diindoktrinasi untuk mengikuti jalannya.[11]
Akibat perbuatannya ia segera menjadi batu sandungan bagi Majelis Ulama Indonesia dan juga anasir-anasir radikal Islam. Ia ditangkap atas dasar penistaan agama, dan pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepadanya. Antara lain atas dakwaan mengajarkan shalat bukan hanya dalam satu bahasa Arab, memelintirkan tafsiran pada sejumlah ayat-ayat Al-Quran demi mendukung gagasan ke-jibrilan-nya, serta menghalalkan makan babi. Lia Eden divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni 2006 karena terbukti melakukan penodaan agama dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Ajaran Eden sesat dan bahkan dinilai telah menodai agama yang dilindungi UU. Lia Eden sempat meminta majelis hakim untuk menghadirkan Jibril ke persidangan. Ia menyatakan, pertanyaan majelis hakim seharusnya ditujukan kepada Jibril, bukan dirinya. Namun dipenjara selama 2 tahun tidak membuat pimpinan Kerajaan Eden ini tobat dari iman dan ajarannya. Setelah bebas dari Rutan Pondok Bambu pada 30 Oktober 2007, ia menyatakan akan terus melanjutkan ajarannya meskipun divonis sebagai ajaran sesat oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan MUI. Dan benarlah! Tak lama kemudian Lia meneruskan ajaran yang diyakininya, dan belakangan ini ia ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman selama dua setengah tahun! Lia terbukti bersalah melakukan penistaan dan penodaan agama.
Polisi menetapkan Lia Aminudin sebagai tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan, sesuai dengan pasal 156 A 335 KUHP. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Juni 2009, dan menyatakan Lia terbukti melakukan penistaan agama karena telah menyebarkan 4 risalah kepada berbagai institusi termasuk Presiden RI pada tanggal 23 November hingga 2 Desember 2008. Diantaranya pernyataan menyerukan penghapusan agama islam dan agama-agama lainnya. Sekalipun Lia Eden ditetapkan menjadi terdakwa dengan tuduhan penodaan atas agama Islam, namun ia bersikukuh berpendapat bahwa penghapusan agama yang dimintanya bukan penodaan agama. Melalui rilis yang dibagikan di Polda Metro Jaya, Jakarta tertanggal 16/12/2008, Lia Eden menyebutkan, tidak ada pasal hukum apa pun yang dapat dipaksakan untuk menjerat dia atau pengikutnya sebagai tersangka. Berikut edaran Lia Eden: Aku Malaikat Jibril turun tangan menjadikan peristiwa ini untuk memperjelas hukum yang salah, yaitu pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang telah 2 kali ingin dijeratkan sebagai kesalahan Lia Eden. Itu karena tidak ada pasal hukum yang bisa dipakai. Tetapi apakah keadilan hukum dapat diharapkan sedemikian. Fatwa Tuhan tentang penghapusan semua agama bukan kejahatan penodaan agama.
Menurut pendapat Luthfie Assyaukanie PhD., saksi ahli untuk UU Penodaan Agama ini mencontohkan kesamaan seorang Lia Eden dengan Nabi Muhammad Saw. dalam hal yang dipersalahkan masyarakat. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi di Gedung MK, tanggal 17 Februari 2010, saksi ahli ini menilai kasus Lia Eden sama dengan awal penyebaran Islam oleh nabi Muhammad SAW. Dalam pandangan ilmu keislamannya yang jernih, ia cukup berani berkata: “Apa yang dilakukan oleh Lia Aminudin, sama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad. Kesalahan Lia sama dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad waktu munculnya Islam.” Menurut dia, awalnya Islam (dianggap) salah menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh kelompok mayoritas. Hal ini sama dengan sekarang, anggapan dan perlakuan orang terhadap Lia Eden.[12]
Pada hari selasa, 4 Nopember 1997, Lia Aminuddin memberikan penjelasan kepada Sekretaris Komisi Fatwa MUI bahwa  ia didampingi Malaikat Jibril.
Kemudian pada tanggal 11 November 1997 Lia menjelaskan dalam Sidang Komisi Fatwa ia merasa dikecewakan oleh sikap Anton Medan dan dua kiai (Nur Muhammad Iskandar SQ dan Zainuddin MZ) mengenai masalah Yayasan At-Ta’ibin, Lia setiap malam menangis dan mengadu kepada Allah tentang ketidak adilan dan kebenaran yang dirasakannya tidak ada. Lia yang mengaku sangat awam dalam bidang agama Islam pada suatu malam mengalami suatu peristiwa: seluruh badan bergetar, keringat bercucuran, tetapi ia merasa kedinginan. Esok harinya tiba-tiba bisa melihat segala sesuatu (misalnya ia dapat mengetahui bahwa sebuah mobil yang dilihatnya adalah hasil korupsi) dan dapat mengobati berbagai penyakit. Setelah itu, ia didatangi oleh mahluk gaib yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Makhluk itu kemudian diketahui (mengaku) sebagai malaikat Bernama Habib al-Huda. Pada suatu hari, seorang pasien bernama Indra yang menurut Lia, kasyaf jin memberitahukan bahwa pendamping Lia Aminuddin adalah Malak Jibril. Kemudian di hari lain, datang lagi seorang yang memberikan kesaksian serupa. Dan ketika Lia Aminuddin bertanya kepada pendampingnya tentang kebenaran kesaksian dua orang tersebut, penndamping itu membenarkan dan mengaku bahwa sebenarnya ia adalah Malak Jibril. Kemudian Lia Aminuddin disuruh beribadah umrah oleh ”Jibril” untuk mendapat kesaksian (pembuktian) bahwa ia adalah Jibril. Sepanjang perjalanan umrah ia melihat peristiwa-peristiwa yang memberikan keyakinan kepadanya bahwa pendampingnya adalah benar-benar Jibril. Lia Aminuddin pun juga menjelaskan bahwa ia dapat berkomunikasi dengan Jibrilnya jika ia memerlukan dan Jibril tidak bisa datang semaunya. Tegasnya, kedatangan Jibril tidak bergantung pada Lia Aminuddin, kecuali jika ada amanat yang harus disampaikan kepadanya.

Tinjauan Hukum Terhadap Kemurtadan Lia Eden
Dari pembahasan diatas, berdasarkan fatwa MUI ajaran yang disebarkan oleh Lia Eden merupakan aliran sesat. Lia mengaku bahwa dirinya sebagai Imam Mahdi, bunda Maria, titisan Malaikat Jibril, dan mengaku sebagai nabi yang diutus oleh Allah melalui wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.
Sedangkan menurut tinjauan hukum Islam Hukum mengaku sebagai Nabi Sesudah Nabi muhammad SAW., berarti ia telah keluar dari agama Islam atau kufur karena ia telah menentang nash yang qath’i dari Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Saw. yang shahih serta bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan pendapat) kaum Muslimin.[13] Firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 40 :

Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. AL-Ahzab:40)
            Ayat diatas jelas dan tegas mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah ‘Khataman Nabiyyin’. Nabi penutup, nabi paling akhir, tidak ada lagi nabi sesudahnya.
            Berdasarkan tinjauan hukum Islam bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh Lia Eden merupakan perbuatan riddah, dan hukuman riddah menurut Hukum pidana Islam, pertama-tama disuruh bertaubat jika ia enggan bertaubat maka pelaku murtad tersebut harus dibunuh sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah ayat 33 dan hadits Rasulullah yang menghalalkan darah orang yang keluar dari agama Islam (murtad).
Namun, dikarnakan Indonesia menganut hukum yang merupakan warisan dari Belanda dan tidak menerapkan hukum Islam sebagai Qanun, maka hukuman yang dijatuhkan kepada pemimpin kerajaan Tuhan Lia Eden dihukum berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Lia Eden divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni 2006 dan kembali ditahan awal Juni 2009 sesuai dengan pasal 156 A 335 KUHP tentang penodaan agama dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

BAB III
KESIMPULAN
Secara lughowi, murtad berasal dari bahasa Arab yaitu riddah yang merupakan isim masdar dari kata ارتداد  yang artinya mundur, kembali ke belakang. Sedangkan secara istilah syara, para ulama mendefinisikan murtad adalah keluarnya seseorang muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dari agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun.
Hukuman bagi pelaku murtad ada dua yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan, hukuman pokok berdasarkan Firman Allah Swt. dan Hadits Rasulullah Saw. yaitu dibunuh jika pelaku murtad tidak mau disiruh bertobat dan tetap pada pendirian terhadap agama barunya. Sementara hukuman tambahan yaitu dirampas harta kekayaannya, mengenai waktu pengambilannya ulama berbeda pendapat apakah dirampas pada saat ia murtad atau setelah ia dieksekusi mati.
            Belakangan ini banyak bermunculan aliran-aliran sesat salah satunya aliran yang dipimpin oleh Lia Aminudin atau dikenal dengan Lia Eden, ia mengaku bahwa dirinya merupakan utusan dari Allah yang menerima wahyu melalui bimbingan Malaikat Jibril dan fatwa dari Tuhan untuk menghapuskan semua agama, sebagaimana edaran yang dikirimkannya kepada Presiden Republik Indonesia.
            Akibat perbuatannya yang sesat rumahnya diamuk warga karena tidak senang dengan perbuatannya tersebut. Pada tahun 1997 aliran Lia Eden diputuskan sebagai aliran sesat oleh MUI melalui Fatwanya, akan teteapi Lia Eden tetap menyebarkan ajarannya dan terus merekrut pengikutnya. Pada tahun 2006 ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditagkap serta dibawa ke Polda Metro Jaya bersama pengikutnya, ia divonis 2 tahun penjara, namun setelah ia bebas pada tahun 2008 ia tidak berhenti menyebarkan agamanya, dan akhirnya pada tahun 2009 ia kembali ditahan oleh polisi karena telah melakukan penodaan terhadap agama dan dihukum dua setengah tahun penjara.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Amin, Muhammad Suma dkk. 2001. Pidana Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dimyathi, Ahmad Badruzzaman. 1993. Umat Bertanya Ulama Menjawab. Bandung: Sinar Baru.
Mas’ud, Ibnu. dan Abidin, Zainal. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Setia.
Rahman, Abdur I Doi. 1992. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.



[1] Prof. Abdur Rahman I Doi Ph. D. Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cetakan pertama, hal. 72.
[2] Drs. H. Ibnu Mas’ud dan Drs. H. Zainal Abidin S., Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. II, hal. 526.
[3] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA, SH., dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), cetakan pertama hal. 64.
[4] Drs. H. Ibnu Mas’ud dan Drs. H. Zainal Abidin S., Fiqih Mazhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. II, Hal. 528
[5] Prof. Abdur Rahman I Doi Ph. D. Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cetakan pertama, hal. 73.
[6] Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.A. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, hal. 77.
[7] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA, SH., dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), cetakan pertama hal. 70.
[11] http://www.indosiar.com/ragam/dari-lia-aminudin-ke-lia-eden_47816.html.
[13] K.H. Drs. Ahmad Dimayathi Badruzzaman, M. Ag., Umat Bertanya Ulama Menjawab, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993), Cet. 1. Hal. 186.

Tidak ada komentar: