Halaman

Jumat, 21 Juni 2013

Mahram Perspektif Fiqh Munakahat

M A H R A M
BAB I
PENDAHULUAN
Perlu diluruskan tentang istilah mahram, karena masih banyak orang yang menyebut dengan  istilah muhrim, padahal yang dimaksud adalah mahram. Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, namun haram (tidak boleh) kita nikahi selamanya. Namun kita boleh bepergian (safar) denganya, boleh berboncengan dengannya, boleh meliihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan, (keluargamuslim.wordpress.com/2007/02/21).  Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahram, seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain. Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan “Muhrim” padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihram untuk haji atau umroh. Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi umat. Wallahu Al Muwaffiq.

 BAB II
PEMBAHASAN

A.Defiisi Mahram
Mahram adalah orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi.[1] perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها
“Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram”. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena seba nasab, persusuan dan pernikahan.” [Al-Mughni 6/555].
Menurut Imam Ibnu Atsir rahimahullah, ” Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain”. [An- Nihayah 1/373]
Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahrom wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”. [Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat hal ; 67).

B. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi
            Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Keharaman yang bersifat Abadi ada yang disepakati dan ada juga yang masih diperselisikan. Yang disepakati ada tiga yaitu: hubungan keturunan atau nasab, hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan, dan hubungan persusuan. Sedangkan yang diperselisikan ialah zina dan li’an. Imam Syafi’I dan Imam Malik bependapat bahwa zina dengan seorang wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak wanitanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I berpendapat bahwa zina menyebabka keharaman.[2]
Keharaman yag bersifat Sementara/temporal yaitu: karena bilangan, mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan halangan peristrian.[3]
            Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki adalah sebagai berikut:

1. Tahrim Mu’abbad (Keharaman yang Bersifat Abadi)
Ø       Larangan Menikah karena Pertalian Nasab
            Fuqaha sependapat bahwa wanita yag diharamkan untuk dinikahi dari dari segi nasab ada tujuh yang kesemuanya tersebut dalam Al-Qur’an, yaitu:
Artinya:
             Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…..
            Berdasarkan ayat diatas wanita yang haram dinikahi karena nasab adalah:
  1. Ibu dan garis keturunannya keatas
  2. Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita dari hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya, namun hukumnya makruh.[4]
  3. Saudara Perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
  4. Bibi (saudara perempuan ayah)
  5. Bibi (saudara perempuan ibu)
  6. Keponakan dari saudara perempuan
  7. Keponakan dari saudara laki-laki.[5]
Mereka adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki yang memiliki hubungan dengannya secara permanent/abadi. Demikianlah kesepakatan para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya.

Ø      Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan
            Larangan menikah karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa: 23 diatas:
.               “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan….”
Halangan karena sebab menyusu
  1. Ibu yang menyusui
  2. Saudara wanita sepersusuan
Para Imam madzhab pendapat tentang berbagai macam pokok masalah.
RMengenai kadar air susu yang menyebabkan keharaman.
Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai kadarnya, berapapun kadarnya menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat yang menyebabkan keharaman adalah lima kali susuan.
RKeadaan orang yang menyusui
Ada beda pendapat dalam hal ini, apabila seorang anak tidak membutuhkan lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu disapih, kemudian disusui lagi oleh wanita lain.
Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan keharaman.
RKesaksian atas susuan.
Imam Malik berpendapat, bahwa persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian dua orang wanita. Imam Syafi’i berpendapat, persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian empat orang wanita. Imam Hanafi berpendapat bahwa boleh kesaksian satu orang wanita.
RSifat wanita yang menyusui
Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita itu menyebabkan keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak.[6]

Ø      LaranganMenikahi Seorang Wanita Karena Hubungan Pernikahan (Mushaharah)
            Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena hubungan penikahan (besanan) adalah sebagai berikut berdasarkan lanjutan surat An-Nisa ayat 23:
…ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 23).
            Jika diperinci adalah sebagai berikut:
  1. Ibu Istri (mertua), nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau ayah.
  2. Anak tiri, dengan syarat kalau terjadi hubungan suami-istri. Menurut Jumhur `Ulàmà' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
  3. Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.
  4. Ibu tiri (istri bapak)
Firman Allah Swt.:
Artinya:
 “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu”.
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)". (An Nisà'/4:22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
  1. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perrempuan yag bersaudara, atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, da seterusnya menurut pertalian mahram diatas.[7]
"Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara" (An Nisà'/4:23). Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;
Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.

2. Tahrim Mu’aqqat (Keharaman yang Bersifat Semetara)
          Manksudnya adalah seorang pria tidak boleh menikahi seorang perempuan selama berada dalam kondisi tertentu. Apabila kondisinya tersebut telah berubah, maka ia boleh menikahinya. Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi secara temporal (sementara) adalah:
1.      Saudara perempuan istri (ipar)
Maksudnya adalah dengan mempoligami duo orang perempuan yang bersaudara. Karena itu seorang pria tidak boleh mempoligami istrinya dengan saudara perempuannya dalam waktu yang sama.[8] Dan apabila menikahi mereka secara berganti-ganti, seperti seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian wanita itu meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu boleh menikahi adik atau kakak perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia tersebut.
2.  Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 24:
Artinya:  “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami….”
3.      Wanita yang sedang dalam masa Iddah, baik iddah cerai atau iddah ditiggal mati. Berdasarka firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234
4.      Wanita yang ditalaq tiga haram nikah lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi degan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya. Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 229-230.
Artinya:
 “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.”( Q.S. Al-Baqarah: 229-230).
5. Wanita yang sedang melakukan ihram. Berdasarkan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Utsman bin Affan: “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang.”
6. Wanita musyrik, haram dinikahi. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 24:
 
BAB III
KESIMPULAN
Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Tahrim Mu’abbad (Keharaman yang Bersifat Abadi)
Ø       Larangan Menikah karena Pertalian Nasab
  1. Ibu dan garis keturunannya keatas
  2. Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan.
  3. Saudara Perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
  4. Bibi (saudara perempuan ayah)
  5. Bibi (saudara perempuan ibu)
  6. Keponakan dari saudara perempuan
  7. Keponakan dari saudara laki-laki
Ø      Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan
  1. Ibu yang menyusui
  2. Saudara wanita sepersusuan
Ø      LaranganMenikahi Seorang Wanita Karena Hubungan Pernikahan
  1. Mertua
2.      Anak tiri
3.      Ibu tiri
4.      Menantu
5.      Mengumpulkan
Tahrim Muaqqat (keharaman yang bersifat sementara) yang dimaksud adalah keharama karena bilangan, mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan halangan peristrian.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Beni Saebani. 2001. Fiqh Munakahat. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Arifin, Gus. 2010. Menikah untuk Bahagia. Jakarta: PT. Gramedia.
Buraidah, Abu Muhammad Fauzi. 2007. Meminang dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Qasim, Muhammad al Ghizzi. 1995. Fathul Qarib. Bandung: Trigenda Karya.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rifa’i, Mohammad dkk. 1978. Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra.
Sahrani, Sohari. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Raja Wali Pers.
http//www. keluargamuslim.wordpress.com/2007/02/21/pengertian_mahram.
http://www.tifaniprinting.com/arti_pernikahan/fullteks/161/pengertian_mahram.

[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hal. 204.
[2] Gus Arifin, Menikah untuk Bahagia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2010), hal. 150.
[3] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H. Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009), hal. 64.
[4] Syekh Muhammad Qasim Al-Ghizzi, Fathul Qarib, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), cet.1, hal. 236.
[5] Drs. Moh. Rifa’I, Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), hal. 185.
[6] Gus Arifin, Mnikah untuk Bahagia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2010), hal. 154-155.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), cet. 27, hal. 389.
[8] Abu Buraidah Muhammad Fauzi, Meminang dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). Cet. Pertama, hal.28.

Tidak ada komentar: