M A H R A M
BAB I
PENDAHULUAN
Perlu
diluruskan tentang istilah mahram, karena masih banyak orang yang menyebut
dengan istilah muhrim, padahal yang dimaksud adalah mahram. Dalam bahasa
arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam ibadah haji
sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun) artinya
orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, namun haram (tidak boleh) kita
nikahi selamanya. Namun kita boleh bepergian (safar) denganya, boleh
berboncengan dengannya, boleh meliihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan,
(keluargamuslim.wordpress.com/2007/02/21). Banyak sekali hukum tentang
pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahram, seperti
hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain.
Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya,
bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan
“Muhrim” padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihram untuk
haji atau umroh. Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi
bashiroh (pelita) bagi umat. Wallahu Al Muwaffiq.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Defiisi Mahram
Mahram
adalah orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi.[1] perempuan atau laki-laki yang masih
termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan
perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Istilah mahram
adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram
yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk
istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk
dinikahi.
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب
مباح لحرمتها
“Setiap wanita yang haram untuk
dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram”.
(Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Menurut Imam
Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi
selama-lamanya karena seba nasab, persusuan dan pernikahan.” [Al-Mughni 6/555].
Menurut Imam
Ibnu Atsir rahimahullah, ” Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi
selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain”. [An-
Nihayah 1/373]
Menurtut
Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahrom wanita adalah suaminya dan semua orang yang
haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan
saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara
sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”. [Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil
mu'minat hal ; 67).
B. Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi
Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua,
yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang
bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Keharaman
yang bersifat Abadi ada yang disepakati dan ada juga yang masih diperselisikan.
Yang disepakati ada tiga yaitu: hubungan keturunan atau nasab, hubungan
kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan, dan hubungan persusuan.
Sedangkan yang diperselisikan ialah zina dan li’an. Imam Syafi’I dan Imam Malik
bependapat bahwa zina dengan seorang wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi
ibu wanita tersebut atau anak wanitanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri,
dan Auza’I berpendapat bahwa zina menyebabka keharaman.[2]
Keharaman
yag bersifat Sementara/temporal yaitu: karena bilangan, mengumpulkan, kafir,
ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan
halangan peristrian.[3]
Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki adalah sebagai
berikut:
1. Tahrim Mu’abbad (Keharaman yang
Bersifat Abadi)
Ø Larangan Menikah karena
Pertalian Nasab
Fuqaha sependapat bahwa wanita yag diharamkan untuk dinikahi dari dari segi
nasab ada tujuh yang kesemuanya tersebut dalam Al-Qur’an, yaitu:
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan
saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan…..
Berdasarkan ayat diatas wanita yang haram dinikahi karena nasab adalah:
- Ibu dan garis keturunannya keatas
- Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita dari hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya, namun hukumnya makruh.[4]
- Saudara Perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
- Bibi (saudara perempuan ayah)
- Bibi (saudara perempuan ibu)
- Keponakan dari saudara perempuan
- Keponakan dari saudara laki-laki.[5]
Mereka
adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki yang memiliki
hubungan dengannya secara permanent/abadi. Demikianlah kesepakatan para ulama
sebagaimana yang dikutip oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya.
Ø
Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan
Larangan menikah karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat
An-Nisa: 23 diatas:
.
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan….”
Halangan karena sebab menyusu
- Ibu yang menyusui
- Saudara wanita sepersusuan
Para Imam madzhab pendapat tentang berbagai macam pokok masalah.
RMengenai kadar air susu yang
menyebabkan keharaman.
Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai
kadarnya, berapapun kadarnya menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat yang menyebabkan keharaman adalah lima kali susuan.
RKeadaan
orang yang menyusui
Ada beda pendapat dalam hal ini,
apabila seorang anak tidak membutuhkan lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu
disapih, kemudian disusui lagi oleh wanita lain.
Imam Malik berpendapat bahwa
penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan keharaman.
RKesaksian
atas susuan.
Imam Malik berpendapat, bahwa
persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian dua orang wanita. Imam
Syafi’i berpendapat, persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian
empat orang wanita. Imam Hanafi berpendapat bahwa boleh kesaksian satu orang
wanita.
RSifat wanita
yang menyusui
Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita
itu menyebabkan keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik
mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak.[6]
Ø
LaranganMenikahi Seorang Wanita Karena Hubungan Pernikahan (Mushaharah)
Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena hubungan penikahan (besanan) adalah
sebagai berikut berdasarkan lanjutan surat An-Nisa ayat 23:
…ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (An-Nisa: 23).
Jika diperinci adalah sebagai
berikut:
- Ibu Istri (mertua), nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau ayah.
- Anak tiri, dengan syarat kalau terjadi hubungan suami-istri. Menurut Jumhur `Ulàmà' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
- Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.
- Ibu tiri (istri bapak)
Firman Allah Swt.:
Artinya:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
Telah dikawini oleh ayahmu”.
"Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)". (An
Nisà'/4:22). Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah
dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak
boleh menikahinya.
- Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perrempuan yag bersaudara, atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, da seterusnya menurut pertalian mahram diatas.[7]
"Dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara" (An Nisà'/4:23). Rasulullàh
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara
perempuan dengan bibinya dari pihak ibu;
Dan menghimpunkan antara perempuan
dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan
dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya"
(HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak
boleh dihimpun dengan bibinya dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh
dihimpun dengan keponakan perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan
keponakan perempuan tidak boleh saling jadi madu.
2. Tahrim Mu’aqqat (Keharaman yang
Bersifat Semetara)
Manksudnya
adalah seorang pria tidak boleh menikahi seorang perempuan selama berada dalam
kondisi tertentu. Apabila kondisinya tersebut telah berubah, maka ia boleh
menikahinya. Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi secara temporal
(sementara) adalah:
1.
Saudara
perempuan istri (ipar)
Maksudnya adalah dengan mempoligami
duo orang perempuan yang bersaudara. Karena itu seorang pria tidak boleh
mempoligami istrinya dengan saudara perempuannya dalam waktu yang sama.[8] Dan apabila menikahi mereka secara
berganti-ganti, seperti seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian
wanita itu meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu boleh menikahi adik atau
kakak perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia tersebut.
2. Wanita yang
terikat perkawinan dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh seorang laki-laki.
Keharaman ini disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 24:
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami….”
3. Wanita yang sedang dalam masa Iddah, baik iddah cerai atau iddah ditiggal
mati. Berdasarka firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234
4. Wanita yang ditalaq tiga haram nikah lagi dengan bekas suaminya, kecuali
kalau sudah kawin lagi degan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta
dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya. Berdasarkan Q.S.
Al-Baqarah ayat 229-230.
Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) Mengetahui.”( Q.S.
Al-Baqarah: 229-230).
5. Wanita yang sedang melakukan ihram. Berdasarkan hadits Nabi SAW. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Utsman bin Affan: “Orang yang sedang ihram
tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang.”
6. Wanita
musyrik, haram dinikahi. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat
24:
BAB III
KESIMPULAN
Istilah mahram
adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram
yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk
istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk
dinikahi.
Secara garis
besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu;
Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang bersifat
sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Tahrim Mu’abbad (Keharaman yang
Bersifat Abadi)
Ø
Larangan Menikah karena Pertalian Nasab
- Ibu dan garis keturunannya keatas
- Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan.
- Saudara Perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
- Bibi (saudara perempuan ayah)
- Bibi (saudara perempuan ibu)
- Keponakan dari saudara perempuan
- Keponakan dari saudara laki-laki
Ø
Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan
- Ibu yang menyusui
- Saudara wanita sepersusuan
Ø
LaranganMenikahi Seorang Wanita Karena Hubungan Pernikahan
- Mertua
2. Anak tiri
3. Ibu tiri
4. Menantu
5. Mengumpulkan
Tahrim Muaqqat (keharaman yang bersifat sementara)
yang dimaksud adalah keharama karena bilangan, mengumpulkan,
kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan,
dan halangan peristrian.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Beni Saebani. 2001. Fiqh Munakahat. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Arifin, Gus. 2010. Menikah untuk Bahagia. Jakarta: PT. Gramedia.
Buraidah, Abu Muhammad Fauzi. 2007. Meminang dalam Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Qasim, Muhammad al Ghizzi. 1995. Fathul Qarib. Bandung: Trigenda
Karya.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rifa’i, Mohammad dkk. 1978. Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha
Putra.
Sahrani, Sohari. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Raja Wali Pers.
http//www.
keluargamuslim.wordpress.com/2007/02/21/pengertian_mahram.
http://www.tifaniprinting.com/arti_pernikahan/fullteks/161/pengertian_mahram.
[3] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H. Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009),
hal. 64.
[8] Abu Buraidah Muhammad Fauzi, Meminang dalam Islam.
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). Cet. Pertama, hal.28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar