Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Hadhanah dan Perwalian



HADHANAH (HAK ASUH) DAN PERWALIAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
  Anak merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa, karena anak merupakan generasi penerus dari orang tuanya.Oleh karena itu anak harus dilindungi, diawasi, dan diberi perlindungan dengan sebaik-baiknya agar anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik demi terciptanya suatu Negara yang baik dan bermartabat apabila anak tersebut jadi sebagai pemimpin.
            Untuk menumbuh kembangkan anak dengan baik, seseorang anak memerlukan orang yang sanggup untuk mendidiknya dan memberi perlindungan terhadap anak agar anak tetap tumbuh dan berkembang dengan semestinya.Factor utama yang harus dilindungi oleh orang yang mengasuh anak adalah factor lingkungan, karena factor lingkunganlah yang sangat menentukan baik atau tidaknya anak. Anak akan baik apabila dijauhi dari lingkungan yang buruk, dan begitu juga sebaliknya anak akan tumbuh baik apabila hidup dilingkungan yang baik pula.
            Banyak sekarang terjadi kenakalan remaja di lingkungan hidup kita.Hal ini terjadi disebabkan oleh karena berkurangnya pengawasan yang diberikan oleh pengasuhnya, sehingga menyebabkan anak menjadi korban dari orang dewasa. Tanpa adanya pengawasan yang ketat  terhadap anak dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak, maka anak akan bergabung dengan komunitas-komunitas yang terlarang dan dengan demikian akan menggelapkan kehidupan anak.

2.      Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan hadhanah dan dasar hukumnya?
b.      Apa saja macam-macam hadhanah?
c.       Apa saja syarat-syarat hadhanah?
d.      Apa yang dimaksud dengan perwalian?
e.       Apa saja macam-macam dan tugas serta kewajiban perwalian?
f.       Kapan berakhirnya kewajiban seorang wali?
g.      Bagaimana ketentuan perwalian menurut undang-undang?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    HADHANAH
1.      Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang belum muwayyiz. Hadhanah menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan.[1]
Menurut Sayyid Sabiq hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, laki- laki ataupun perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Dalam kajian fiqih Hadanah yaitu memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sessuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang merusaknya.[2] Hal ini dirumuskan garis hukumnya dalam Pasal 41 Undang-undang perkawinan sebagai berikut:
Pasal 41 UUP
            Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah
a.       Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara atau mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan member keputusannya;
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendid.ikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri;
Garis hukum yang terkandung dalam Pasal 41 undang-undang tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab pegasuhan anak yag mengandung nilai nonmaterial. Undang-undang perkawinan penekannya berfokus pada nilai materiilnya, sedangkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang penekanannya meliputi kedua aspek tersebut, yaitu sebagai berikut:
Dalam hal terjadi perceraian:
a.       Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.       Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya;
Ketentuan KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak itu masih kecil maka pemeliharaannya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung oleh ayahnya.
Para ulama Fiqih mendefinisikan Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun permpuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Yang dimaksud dengan perkataan mendidik disini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz, maka istrinyalah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya. Dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak tinggal bersama ibunya, namun nafkahnya tetap wajib dipikul oleh ayahnya.[3]
Dalam buku Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar karangan Drs. Moh.Rifa’I dkk dijelaskan apabila antara ayah dan ibu berpisah dan mempunyai anak, maka ibulah yang lebih berhak memeliharanya (mendidiknya) sampai anak berumur tamyiz (7 tahun), artinya bisa memilih orang tua yang diikuti.[4]

2.      Dasar Hukum Hadhanah
Dasar hukum hadhanah Firman Allah Swt. Q.S. At-Tahrim Ayat 06:
يَا يها الذ ين آممنوا قوا آنفسكم وآهليكم نارا وقودهاالناسوالحخارة
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (Q.S. At-Tahrim :6)
Pada ayat ini, orang tua diperintahkan Allah Swt. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah, yang termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini terutama ibulah yang berkewajiban melakukan hadhanah.
Umar bin Syuaib meriwayat kan dari ayahnya, dari neneknya bahwa ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw. seraya berkata : “YaRasulullah, anak ini telah kukandung di rahimku, telah kususui dengan air susuku. Ayahnya (suamiku) menceraikanku dan menghendaki anak ini dariku”.Rasulullah bersabda kepadanya :

انت احق به ما لم تنكحى (روابوداودوالحاكم)
“Artinya:
Engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum menikah dengan orang lain.” (H.R. Abu Dawuddan Hakim)

3.      Macam- Macam Hadhanah
Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua anakanya.
a.       Hadhanah Pada Masa Perkawinan.
UUP No. 1 tahun 1974 pasal 45, 465, 47 sebagai berikut:
Pasal 45:
  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku  sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
  1. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.
  2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan batuannya.
Pasal 47:
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Dalam hal ayat 1 Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua orang tuanya dicabut dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa  atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap berkewajiban. Namun demikian orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan. Dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.
Ditambah dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak :
Pasal 98 :
  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 21, sepanjang tidak cacat fisik  atau mental.
  2. Orang tuanya mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan.
  3. PA (Pengadilan Agama) dapat menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila orangtuanya  tidak mampu.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah :
  1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
  2. Hasil dari perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;
b.      Hadhanah Pada Masa Perceraian
Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas dirinya dan kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada UUP NO.1 thn 1974 Pasal 41 tentang akibat putusnya  perkawinan karena perceraian adalah:
  1. Baik  ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilaman ada perselisihan mengenai   pengasuhan  anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak, pengadilan memberi keputusan;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatau kewajiban bagi bekas istri.
Kemudian diatur juga dalam KHI pada pasal 105 dalam permasalahan perceraian, yang mana anak pada saat itu belum mumayyiz yaitu:
  1. Belum berumur 12 tahun masih haknya seorang ibu.
  2. Ketika sudah mumayyiz disrahkan kepada anaknya untuk memilih diantara kedua orang tuanya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  3. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.
Sedangkan menurut fikih 5 Madzab :
  1. Hanafi: 7 tahun untuk laki- laki dan 9 tahun untuk perempuan.
  2. Syafi’i: Tidak ada batasan tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bias menentukan atau berfikir hal yang terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.
  3. maliki: Anak laki- laki hingga baligh dan perempuan hingga manikah.
  4. Hambali: Masa anak laki- laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.
  5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki- laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu haknya ayah, hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki- laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.
Sedangkan dalam KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada perceraian:
1)      Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh;
a)      Wanita- wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,
b)      Ayah,
c)      Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,
d)     Saudara- saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,
e)      Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,
f)       Wanita- wanita sedarah menurut garis samping ayah.
2)      Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya.
3)      Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat yang juga mempunyai hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk memindahkan hak hadhanah.
4)      Biaya hadhanah tangung jawab ayah sekurang- kurangnya sampai dewasa dan dapat mengurus sendiri ( 21 tahun).
5)      Apabila ada perselisihan PA dapat memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.
6)      Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya pada penetapan jumlah biaya untuk memelihara dan pendidikan anak.[5]

4.      Syarat-syarat Hadhanah
Dalam memelihara anak ada 7 syarat sebagaimana yang terdapat dalam buku Terjamah Kifayatul Akhayar  yang meliputi:
1.      Berakal
Orang yang tidak sehat akalnya tidak ada hak untuk memeliharanya karena orang gila tidak sanggup memelihara dirinya sendiri, apalagi memelihara orang lain sudah tentu tidak bisa.
2.      Merdeka
Budak tidak berhak memelihara anak, meskipun tuannya mengizinkan, sebab budak dikuasai tuannya.
3.      BeragamaIslam
Jika anaknya Islam sebab ayahnya Islam maka tidak boleh dipelihara ibu yang kafir, karena pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan aqidahnya.
4.      Kasih Sayang
5.      Jujur
Orang yang fasik (rusakagamanya) tidak berhak memelihara anak, sebab ketidakjujurannya akan membawa kerugian kepada anak.
6.      Tidak Bersuami
Perempuan yang bersuami akan disibukkan dengan urusan suami sehingga tidak dapat memelihara anak dengan baik.
7.      Bertempat Tinggal

B.     PERWALIAN
1.      Pengertian Perwalian
Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak “awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti "teman", "klien", "sanak", "pelindung". Umumnya kata tersebut menunjukkan arti "sahabat Allah" dalam frasewalīyullah. Dalam konteks al-Qur’an makna wali juga mengandung arti sebagai penolong. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Perwalian menurut Hukum Perdata ialah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaannya anak tersebut sebagaimana diatur oleh undang-undang.[6]
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang didasarkan pada Firman Allah dala Surah Al-Baqarah ayat 282:
فان كان الذي عليه الحق سفيها او ضعيفا اولايستطيع آن يمل هو فليملل وليه بالعدل
Artinya:
            “…jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur…”  (Q.S. Al-Baqarah : 282)
            Ketentuan ayat tersebut menunjukan peran, kewajiban, dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang dibawah perwalianya. Perincian hak dan kewajiban wali dalam hukum Islam dapat diungkapkan beberapa garis hukum, baik yang ada dalam Undang-undang Perkawinan maupun yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 50 UU Perkawinan
(1) Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51 UU Perkawinan
(1) Wali dapat di tunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal,dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2(dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya di ambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat,adil,jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah kekuasaannya dan harta bendanya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang di timbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
            Pasal 51 ayat (2) menekankan penunjukan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw.:
ان النبي صلى الله عليه وسلم قضى فى ابنة حمزة لخا لتهاوقا ل الخا لة بمنزلة الام (اخرخه البخارى)
Artinya:
            Sesungguhnya Nabi Saw. mengutus wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya, dan beliau bersabda: “saudara perempuan ibu menempati kedudukan ibu.”(Riwayat Al-Bukhari).            

2.      Macam-macam Perwalian
  Perwalian ditinjau dari segi pengangkatannya ada tiga macam:
a.       Perwalian oleh suami atau istri
b.      Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu yang ditunjuk dengan surat wasiat atau akta tersendiri
c.       Perwalian yang diangkat oleh hakim.
Dalam hal perwalian yang dilakukan oleh bapak dan ibu, tidak dapat perbedaan yang prinsipil, tetapi ada dua perbedaan di bawah ini:
1.      Curator Pasal 348 BW, yaitu jika waktu bapak meninggal dan ibu pada saat itu mengandung maka Balai Harta Peninggalan menjadi pengampu atas anak yang berada dalam kandungan dengan cara-cara seperti yang telah ditetapkan dalam pengangkatan wali. Jika anak itu kemudian hari lahir, maka ibu dengan sendirinya (menurut hukum) menjadi wali dan pengampu menjadi wali pengawas.
2.      Pada perkawinan baru, dalam hal ibu kawin lagi, maka suaminya yang baru itu dengan sendirinya (menurut hukum) menjadi medevoogd (wali peserta) dan bersama istrinya (wali ibu) bertanggung jawab secara langsung terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung.

3.      Kewajiban Wali
Adapun kewajjban wali adalah :
a.       Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan.
Pasal 368 KUH Perdata apabjla kewajjban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
b.      Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
c.       Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
d.      Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
e.       Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal 389 KUH Perdata)
f.       Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
g.      Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.

4.      Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
  1. dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
a. Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
b. Matinya si anak.
c. Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
d.  Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.

2.      Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
a.  Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
b.  Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).
  
5. Ketentuan perwalian menurut UU No.1 tahun 1974.
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
  2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
  3. Syarat-syarat Perwalian
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah :
  • Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
  • Anak-anak yang belum kawin.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
  • Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
  1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
  2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
  3. Kewajiban Wal
BAB III
KESIMPULAN
Dalam kajian fiqih Hadanah yaitu memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sessuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang merusaknya.
Dasar hukum hadhanah Firman Allah Swt. Q.S. At-Tahrim Ayat 06:
يَا يها الذ ين آممنوا قوا آنفسكم وآهليكم نارا وقودهاالناسوالحخارة
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (Q.S. At-Tahrim :6)
Macam- Macam Hadhanah: Hadhanah Pada Masa Perkawinan dan Hadhanah Pada Masa Perceraian.
Syarat-syarat Hadhanah: berakal, merdeka, Islam, kasih sayang, jujur, tidak bersuami, bertempat tinggal.
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Macam-macam Perwalian: Perwalian ditinjau dari segi pengangkatannya ada tiga macam: Perwalian oleh suami atau istri, perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu yang ditunjuk dengan surat wasiat atau akta tersendiri, perwalian yang diangkat oleh hakim.
Syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah : anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun, anak-anak yang belum kawin, anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali, perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Beni Saebani. 2001. Fiqih munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rifa’i, Mohammad dkk.1978. Terjamah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra.
Sahrani, Sohari dan Tihami. 2010. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2008. Kompilasi Hukum Islam. Bandung Nuansa Aulia.
http://balianzahab.wordpress.com/.../perwalian-menurut-kuhperdata-2/



[1] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawalipers, 2010), hal. 215.
[2] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 67
[3] H. SulaimanRasjid, Fiqh Islam, (Bandung: SinarBaruAlgensindo, 1994), hal. 426.
[4] Drs. Moh. Rifa’Idkk, TerjamahKhulashahKifayatulAkhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 350.
[5]http://imamrusly.wordpress.com/2012/04/22/hadhanah-mengasuh-anak/
[6] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia,2001), hal.192.

Tidak ada komentar: