Analisis Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
(UU No. 3/1971, UU No. 31/ 1999, dan UU No.
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
dari Segi Tindak Pidana Khusus, Penyimpangan
Secara Materil dan Secara Formil
A.
Pengertian Korupsi
Korupsi bersasal dari bahasa latin “Corruptio ” atau “Corruptos” Kata tersebut kemudian didopsi ke dalam beberapa bahasa, diantaranya yaitu: Bahasa Inggris: Corruption ( Corrupt ), Bahasa Belanda: Corruptie, Bahasa Indonesia: Korupsi
Secara harfiah korupsi dapat berarti Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak
bermoral, kebejatan, dan, perbuatan yg buruk
(penggelapan, uang, penerimaan uang sogok, dsb), perbuatan yang kenyataan menimbulkan keadaan yg bersifat buruk. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara
gamblang dalam 30 buah Pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 7 (tujuh) bentuk
/ jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara
terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena
korupsi.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,........”
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1)
tersebut dapat ditarik unsur-unsur Tindak
Pidana Korupsi sebagai berikut :
1) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum
Unsur secara “ melawan hukum “ disini dalam Penjelasan Pasal 2 ayat
dikatakan mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
2) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Pada dasarnya maksud memperkaya diri
sendiri disini adalah dengan perbuatan melawan hukum tersebut si pelaku
bertambah kekayaannya. Sedangkan memperkaya orang lain atau korporasi berarti
akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku, ada orang lain atau
korporasi yang mendapatkan keuntungan atau bertambah harta kekayaannya.
3) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara
Keuangan negara adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak
pidana khusus yang diatur dalam undang-undang hukum pidana khusus, yaitu
undang-undang No. 3 tahun 1971, No. 31 tahun 1999 kemudian diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ciri-ciri hukum pidana khusus, terutama menyimpang dari asas-asas
yang diatur dalam undang-undang hukum pidana umum. Hukum pidana umum dibagi
dua, yaitu formil dan materil. Sehingga hukum pidana khusus dapat memiliki dua
macam penyimpangan, yaitu penyimpangan secara formil dan materil. Hukum pidana
umum dari sudut materil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan, peraturan umum dari sudut formil
mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Dalam hal ini maka berlaku adagium lex specialis derogat legi generalis (ketentuan
khusus menyingkirkan ketentuan umum). Tindak pidana korupsi disebut juga
sebagai extraordinary crime yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian
negara serta pelaksanaan pembangunan nasional. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk mengatasi tindak pidana korupsi. Salah satu usaha tersebut adalah dengan
dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan antikorupsi (undang-undang khusus).
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
(UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 20 Tahun 2001) merupakan
undang-undang hukum pidana khusus. Ciri-ciri hukum pidana khusus, antara lain:
a. Memuat satu jenis tindak
pidana, dalam hal ini adalah tindak pidana khusus
b. Mengatur tidak saja hukum
pidana materil tetapi juga sekaligus hukum pidana formil.
c. Terdapat penyimpangan
asas.
KUHP telah mengatur
tentang berapa perbuatan yang merupakan korupsi. Namun pengaturan tentang
tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dipandang tidak cukup efektif, oleh
karena itu lahirlah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa
Perang Pusat Nomor Prt/Peperu/013/1958, kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971) yang
lahir dari perbaikan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 24 Tahun 1960), yang
kesemuanya merupakan salah satu wujud dari usaha tersebut.
Semangat reformasi tahun
1998 mendorong perbaikan di segala bidang, juga salah satunya adalah
undang-undang antikorupsi. Dimulai dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) yang menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor
20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001) untuk lebih
menciptakan perbaikan tersebut.
Tipikor masuk pada delik formil yaitu delik
yang menitikberatkan pada kesesuaian peraturan perundang-undangan. Alasan
tipikor masuk pada delik formil adalah lebih mudah pembuktiannya tanpa adanya
akibat, maksudnya apabila perbuatan tersebut dipandang secara objektif telah
merugikan keuangan negara dan memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan,
maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan tipikor tanpa menunggu adanya
akibat.
Dengan wujud dan sifat perbuatan tindak pidana
korupsi yang spesifik, yaitu korelasi antara aspek hukum dan moral yang sangat
kompleks sehingga secara teorestik asas hukum dalam sistem hukum pidana akan
sangat menentukan ratiologis dari suatu produk peraturan perundang-undangan
tentang pemberantasan korupsi. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis maka
diterapkan peraturan khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu
UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, akan tetapi
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kejahatan seperti kejahatan
perpajakan, money laundering, kehutanan, perikanan, pertambangan dan
sebagainya yang deliknya dapat memenuhi unsur-unsur perbuatan korupsi, berlaku
peraturan perundang-undangan masing-masing. Problem muncul ketika dalam proses
penanggulangannya dilakukan seperti proses penegakan hukum dengan peraturan
umum dalam hal ini korupsi sebagai peraturan khusus atau tindak pidana khusus
(tipidsus) menimbulkan sistem hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
karena tidak dapat diterapkan sistem hukum hanya dengan asas legalitas formal
tetapi juga mencakup asas legalitas materiil atau nonformil yang memengaruhi
hubungan antara hukum dan moral serta perkembangan budaya yang sangat cepat.
B.
Kekhususan Tindak Pidana Khusus (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)
Ø Penyimpangan UU PTPK dalam Segi Materil
1) Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan
hukuman
Pasal 15 UU PTPK mengatur : Setiap orang yang melakukan percobaan
(Pasal 53 ayat 1 KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP) atau permufakatan jahat
(Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan
Pasal 14.
Pasal ini menegaskan, seseorang yang didakwa melakukan
tindak pidana pembantuan terhadap Delik Korupsi baik dalam Pasal 2, Pasal 3,
maupun Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU PTPK harus dituntut dengan Pasal 15 UU
PTPK bukan dengan Pasal 56 KUHP seperti yang telah dikemukakan di atas. Adapun
mengenai pemberatan ancaman pidana - dalam delik pembantuan tersebut - menurut
penulis - merupakan konsekuensi logis dari sifat tindak pidana korupsi yang
telah disepakati yaitu bersifat extra ordinary crime (kejahatan luar
biasa : terjemahan bebas penulis) sehingga tindak pidana ikutan yang terkait
dengan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang lebih berat dari
ancaman dalam KUHP.
2) Tidak adanya pedoman pelaksanaan
pidana minimal khusus
Tidak adanya aturan atau pedoman khusus yang untuk menerapkan sanksi pidana
yang dirumuskan dengan sistem kumulasi
Contoh: Pasal 2 UU 31/1999 (memperkaya diri) diancam dengan kumulatif dan
Pasal 3 UU 31/1999 (menyalahgunakan kewenangan) dirumuskan dengan kumulatif
alternative, padahal secara teoritis bobot deliknya sama
3) Pidana pokok korporasi hanya denda (Pasal 20)
Padahal jika dilihat seharusnya penutupan korporasi/pencabutan izin usaha
dalam waktu tertentu dapat dilakukan sebagai pengganti pidana perampasan
kemerdekaan.
4) Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak
dibayar oleh korporasi
Pasal 30 KUHP (apabila denda tidak dibayar diganti oleh pidana kurungan
pengganti selama 6 bulan) tidak dapat diterpakan untuk korporasi.
5) Formulasi Pidana Mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni Pasal 2
ayat (1) yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2)
Dalam penjelasan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan
ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan berbahaya
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu Negara
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam
nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga
dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan.
Ø
Penyimpangan
UU PTPK dalam Segi Formal
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa
ketentuan tentang acara pidana terhadap tindak pidana korupsi yaitu antara lain:
1) Penyidikan (Pasal 26)
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang‑undang ini.
Penyidikan KPK Pasal 45:
o Penyidik adalah Penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
o Penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
2) Pembuktian
terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi
secara sistematik dan meluas, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang
khusus, antara lain dengan cara penerapan "sistem pembuktian
terbalik" yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Artinya
terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi kecuali yang
bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. Dalam hal setiap PNS, pegawai BUMN/D
atau penyelenggara negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib
membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 37 A dan 38 B.
Namun demikian sebagai konsekuensi dari sistem
pembuktian terbalik tersebut, kepada terdakwa juga diberikan hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dengan
demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah
dan menyalahkan diri sendiri dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan
kepada tiap orang.
Undang-undang tindak pidana korupsi
mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem, yaitu:
Pertama,
pembalikan
beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk
tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap
harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana
korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU
sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap
penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi
pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada
pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam
jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn
bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in
strijd me zijn plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Kedua,
pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik
dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa
penuntut umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda
secara berlawanan (Pasal 37A).
Ketiga, sistem
konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada jaksa penuntut
umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi
yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B
ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok.
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a.
alat bukti lain yang
berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.
dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna
3) Dianutnya Peradilan Absensial (Pasal 38)
o
Dalam hal
terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
o
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya
sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala
keterangan saksi dan surat‑surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
o
Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
o
Terdakwa
atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
o
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum
putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan
telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan barang‑barang yang telah disita.
o
Penetapan
perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya
banding.
o
Setiap orang yang berkepentingan dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung
sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
4)
Dianutnya Terobosan terhadap Rahasia Bank
Dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, KomisI Pemberantasan Korupsi berwenang :
o
melakukan penyadapan
dan mereka pembicaraan;
o
memerintahkan
kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
o
meminta keterangan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
o
memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik
tersangka, terdakwa, atau pihak lain yan terkait;
o
memerintahkan
kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka
dari jabatannya;
o
meminta data
kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang
terkait;
o
menghentikan
sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian
lainnya atau
5)
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki ole tersangka atau terdakwa yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi
yang sedang diperiksa;
o
meminta
bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
o
meminta
bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
(Sumber Internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar