Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Analisis UU Tindak Pidana Korupsi



Analisis Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
(UU No. 3/1971, UU No. 31/ 1999, dan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
dari Segi Tindak Pidana Khusus, Penyimpangan Secara Materil dan Secara Formil

A.    Pengertian Korupsi
Korupsi bersasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptos Kata tersebut kemudian didopsi ke dalam beberapa bahasa, diantaranya yaitu: Bahasa Inggris: Corruption ( Corrupt ), Bahasa Belanda: Corruptie, Bahasa Indonesia: Korupsi
Secara harfiah korupsi dapat berarti Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan, perbuatan yg buruk (penggelapan, uang, penerimaan uang sogok, dsb), perbuatan yang kenyataan menimbulkan keadaan yg bersifat buruk.      Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang dalam 30 buah Pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 7 (tujuh) bentuk / jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,........”
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut dapat ditarik unsur-unsur Tindak
Pidana Korupsi sebagai berikut :
1) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum
Unsur secara “ melawan hukum “ disini dalam Penjelasan Pasal 2 ayat dikatakan mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
2) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Pada dasarnya maksud memperkaya diri sendiri disini adalah dengan perbuatan melawan hukum tersebut si pelaku bertambah kekayaannya. Sedangkan memperkaya orang lain atau korporasi berarti akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku, ada orang lain atau korporasi yang mendapatkan keuntungan atau bertambah harta kekayaannya.
3) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara
Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus  yang diatur dalam undang-undang hukum pidana khusus, yaitu undang-undang No. 3 tahun 1971, No. 31 tahun 1999 kemudian diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ciri-ciri hukum pidana khusus, terutama menyimpang dari asas-asas yang diatur dalam undang-undang hukum pidana umum. Hukum pidana umum dibagi dua, yaitu formil dan materil. Sehingga hukum pidana khusus dapat memiliki dua macam penyimpangan, yaitu penyimpangan secara formil dan materil. Hukum pidana umum dari sudut materil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan, peraturan umum dari sudut formil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini maka berlaku adagium lex specialis derogat legi generalis (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum). Tindak pidana korupsi disebut juga sebagai extraordinary crime yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi tindak pidana korupsi. Salah satu usaha tersebut adalah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan antikorupsi (undang-undang khusus).
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 20 Tahun 2001) merupakan undang-undang hukum pidana khusus. Ciri-ciri hukum pidana khusus, antara lain:
a.    Memuat satu jenis tindak pidana, dalam hal ini adalah tindak pidana khusus
b.    Mengatur tidak saja hukum pidana materil tetapi juga sekaligus hukum pidana formil.
c.    Terdapat penyimpangan asas.
KUHP telah mengatur tentang berapa perbuatan yang merupakan korupsi. Namun pengaturan tentang tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dipandang tidak cukup efektif, oleh karena itu lahirlah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperu/013/1958, kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971) yang lahir dari perbaikan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 24 Tahun 1960), yang kesemuanya  merupakan salah satu wujud dari usaha tersebut.
Semangat reformasi tahun 1998 mendorong  perbaikan di segala bidang, juga salah satunya adalah undang-undang antikorupsi. Dimulai dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) yang menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001) untuk lebih menciptakan perbaikan tersebut.
Tipikor masuk pada delik formil yaitu delik yang menitikberatkan pada kesesuaian peraturan perundang-undangan. Alasan tipikor masuk pada delik formil adalah lebih mudah pembuktiannya tanpa adanya akibat, maksudnya apabila perbuatan tersebut dipandang secara objektif telah merugikan keuangan negara dan memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan tipikor tanpa menunggu adanya akibat. 
Dengan wujud dan sifat perbuatan tindak pidana korupsi yang spesifik, yaitu korelasi antara aspek hukum dan moral yang sangat kompleks sehingga secara teorestik asas hukum dalam sistem hukum pidana akan sangat menentukan ratiologis dari suatu produk peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis maka diterapkan peraturan khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, akan tetapi peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kejahatan seperti kejahatan perpajakan, money laundering, kehutanan, perikanan, pertambangan dan sebagainya yang deliknya dapat memenuhi unsur-unsur perbuatan korupsi, berlaku peraturan perundang-undangan masing-masing. Problem muncul ketika dalam proses penanggulangannya dilakukan seperti proses penegakan hukum dengan peraturan umum dalam hal ini korupsi sebagai peraturan khusus atau tindak pidana khusus (tipidsus) menimbulkan sistem hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi karena tidak dapat diterapkan sistem hukum hanya dengan asas legalitas formal tetapi juga mencakup asas legalitas materiil atau nonformil yang memengaruhi hubungan antara hukum dan moral serta perkembangan budaya yang sangat cepat.

B. Kekhususan Tindak Pidana Khusus (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)
Ø  Penyimpangan UU PTPK dalam Segi Materil
1)      Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman
Pasal 15 UU PTPK mengatur : Setiap orang yang melakukan percobaan (Pasal 53 ayat 1 KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP) atau permufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal ini menegaskan, seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pembantuan terhadap Delik Korupsi baik dalam Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU PTPK harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK bukan dengan Pasal 56 KUHP seperti yang telah dikemukakan di atas. Adapun mengenai pemberatan ancaman pidana - dalam delik pembantuan tersebut - menurut penulis - merupakan konsekuensi logis dari sifat tindak pidana korupsi yang telah disepakati yaitu bersifat extra ordinary crime (kejahatan luar biasa : terjemahan bebas penulis) sehingga tindak pidana ikutan yang terkait dengan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana yang lebih berat dari ancaman dalam KUHP.
2)       Tidak adanya pedoman pelaksanaan pidana minimal khusus
Tidak adanya aturan atau pedoman khusus yang untuk menerapkan sanksi pidana yang dirumuskan dengan sistem kumulasi
Contoh: Pasal 2 UU 31/1999 (memperkaya diri) diancam dengan kumulatif dan Pasal 3 UU 31/1999 (menyalahgunakan kewenangan) dirumuskan dengan kumulatif alternative, padahal secara teoritis bobot deliknya sama
3)      Pidana pokok korporasi hanya denda (Pasal 20)
Padahal jika dilihat seharusnya penutupan korporasi/pencabutan izin usaha dalam waktu tertentu dapat dilakukan sebagai pengganti pidana perampasan kemerdekaan.
4)      Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi
Pasal 30 KUHP (apabila denda tidak dibayar diganti oleh pidana kurungan pengganti selama 6 bulan) tidak dapat diterpakan untuk korporasi.
5)      Formulasi Pidana Mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni Pasal 2 ayat (1) yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2)
Dalam penjelasan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan berbahaya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan.
Ø  Penyimpangan UU PTPK dalam Segi Formal
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang acara pidana terhadap tindak pidana korupsi yaitu antara lain:
1)      Penyidikan (Pasal 26)
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang‑undang ini.
Penyidikan KPK Pasal 45:
o   Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
o   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
2)      Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan cara penerapan "sistem pembuktian terbalik" yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. Dalam hal setiap PNS, pegawai BUMN/D atau penyelenggara negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 37 A dan 38 B.
Namun demikian sebagai konsekuensi dari sistem pembuktian terbalik tersebut, kepada terdakwa juga diberikan hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dengan demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah dan menyalahkan diri sendiri dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada tiap orang.
Undang-undang tindak pidana korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga) sistem, yaitu:
Pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta benda yang belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B). Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd me  zijn plicht) dan harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal 37A).
Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada jaksa penuntut umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak pidana korupsi pokok.
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.          alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b.          dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna

3)      Dianutnya Peradilan Absensial (Pasal 38)
o   Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
o   Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat‑surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
o   Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
o   Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
o   Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang‑barang yang telah disita.
o   Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.
o   Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

4)      Dianutnya Terobosan terhadap Rahasia Bank
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KomisI Pemberantasan Korupsi berwenang :
o   melakukan penyadapan dan mereka pembicaraan;
o   memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
o   meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
o   memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yan terkait;
o   memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
o   meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
o   menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau 
5)      pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki ole tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
o   meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
o   meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
(Sumber Internet)

Tidak ada komentar: