Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Peranan Sosiologi Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi



TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Kondisi Indonesia masuk dalam kategori penyakit kronis dengan tingkat kejahatan korupsinya sangat tinggi. Kalau menurut ilmuwan, sosiologi korupsi itu disamakan dengan 'patologi sosial' yang sangat sulit disembuhkan, apabila tidak mulai dari sikap dan karakter. Penyakit ini dari dari waktu ke waktu selalu menghiasi wajah pertelevisian nasional, bahkan bisa mengalahkan isu-isu kemiskinan di berbagai daerah lainnya. Menurut survei Transparency Internasional tahun 2011 objektivitas pemberantasan pelaku korupsi masih sangat minus. Konon Indonesia berada pada posisi terbawah dari 183 negara yang menduduki ranking 100 dengan skor 3 dan baru diikuti oleh negara lain seperti Argentina, Benin, Burkina Faso dan Madagaskar maupun seterusnya. Dari Indeks Prestasi Korupsi negara ini seharusnya memiliki komitmen untuk mengurangi tingkat korupsi, tapi jauh api dari panggangnya.
Korupsi telah berjalan lama dari zaman Majapahit hingga sekarang. Konteks modern, mendekati 70 tahun merdeka bangsa ini semakin subur korupsinya, bahkan raport merah. Berbagai cara ditempuh dalam menindak pejabat negara yang terbukti korupsi. Sejarah membuktikan semenjak terbentuknya KPK tahun 2003 bahwa pemberantasan korupsi itu tidak perlu ada tingkat, harus objektif tanpa pandang bulu. Oleh sebab itu, wajib untuk menyatakan tidak pada korupsi dan berusaha melaporkan kepada pihak-pihak yang berwewenang apabila menemukan modus korupsi. Peraturan perundang-undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Untuk itu perlu ada keseriusan bagi para pejabat Negara dalam memberantas tindak pidana korupsi yang sudah menjadi budaya di Negara ini dan disertai dengan pemberian balasan yang setimpal, hukuman yang seberat-beratnya kepada koruptor secara tegas dan tepat.
Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi ini sosiologi hukum juga berperan penting dalam mewujudkan masyarakat dan negara yang terbebas dari tindak kejahatan korupsi yang merugikan rakyat Indonesia ini. Peluang korupsi ketika pejabat publik menggunakan wewenangnya untuk mengambil aset negara. Oleh karena itu harus ditangani lebih efektif, tanggap, sigap dan cepat karena korupsi di Indonesia sangat kompleks serta membutuhkan strategi maupun karakter manusia jujur yang kuat tahan banting dan mampu berbuat adil..

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sosiologi, Hukum, Sosiologi Hukum, dan Korupsi
Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani Logos yang berarti ”kata” atau “berbicara” , jadi sosiologi berbicara mengenai masyarakat. Kekhususan bahwa perilaku sosiologi adalah manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi dan ditunjang bersama. Dalam merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat, dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat merupakan hal yang sangat sukar. Oleh sebab itu suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja. Sungguhpun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan tumbuh ke arah  pelbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian yang pokok dan menyeluruh. Untuk patokan sementara akan diberikan beberapa definisi sosiologi menurut para ahli sebagai berikut:
Ø  Pitirim Sorokin, mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
a.       Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial         (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomis, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya);
b.      Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala nonsoial (misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya)
c.        Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
Ø  Roucek dan Warren, mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok.
Ø  William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
Ø  J. A. A. Van Door dan C. J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Ø  Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakata adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut  Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama, misalnya pengaruh timal balik antara segi kehidupan ekonomi  dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur masyarakat.[1]
Ø  Auguste Comte, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan sesamanya.
Ø  Emile Durkheim, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu, serta mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan.
Ø  Max Weber, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain.

Hukum berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan. Hukum adalah keseluruhan norma yang oleh penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam  bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalitas dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut perilaku dalam konstitusi hukum, meyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.
Hukum tidak dapat didefinisikan secara tepat dan sama karena disetiap wilayah berbeda-beda hukumnya, jadi sulit untuk didefinisikan, namun beberapa sarjana telah memberikan batasan tentang hukum menurut pendapatnya masing-masing. Batasan-batasan yang telah mereka kemukakan satu sama lain saling berbeda. Batasan-batasan yang telah mereka kemukakan mengenai pengertian hukum adalah sebagai berikut :
Ø  Menurut pendapat Prof. Mr.E.M. Meyers, Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalan melakukan tugasnya.
Ø  Menurut Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
Ø  Menurut Immanuel Kant, Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari oarang lain menurut asas tentang kemerdekaan.
Ø  Menurut Utrecht, Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Ø   Menurut S.M. Amin, S.H. Hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi serta tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan tibal balik antara hukum dengan gejala social (masyarakat). Sosiologi hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan secara analiti sempiris tentang persoalan hukum dihadapkan dengan fenomena-fenomena lain dimasyarakat. Hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempelajari sosiologi hukum.
Sosiologi hukum merupakan ilmu yang menganggap hukum bukan hanya sisi normatif semata tetapi merupakan sekumpulan fakta empiris, sesuatu yang nyata dalam masyarakat, yang ditinjau dari bebagai sisi sampai terdapat keseimbangan informasi terhadap suatu fenomena sosial tentang hukum.
Adapun pengertian hukum menurut beberapa para ahli sebagai berikut:
Ø  Soerjono Soekanto, Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti, mengapa manusia patuh pada hukum, dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta factor-faktor social lain yang mempengaruhinya (Pokok-Pokok Sosiologi Hukum).
Ø  Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomen hukum dengan mencoba keluar dari batas-batas peraturan hukum dan mengamati hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakat.
Ø  Soetandyo Wignjosoebroto, Sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi yang memusatkan perhatiannya kepada ihwal hukum sebagaiman terwujud sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. (hukum; paradigma metode dan dinamika masalahnya).
Ø  David n. Schiff, Sosiologi hukum adalah, studi sosiologi terhadap fenomena-fenomena hukum yang spesifik yaitu yang berkaitan dengan masalah legal relation, juga proses interaksional dan organizational socialization, typikasi, abolisasi dan konstruksi social; (pendekatan sosiologis terhadap hukum).

Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau corruptus mempunyai arti buruk, bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah. Sedangkan pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta) adalah sebagai perbuatan curang, dapat disuap, dan tidk bermoral. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. Sedangkan di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan yan dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya.[2]

B.     Peranan Sosiologi Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Ilmu sosial yang secara khusus mempelajari “interaksi sosial” ini adalah sosiologi. Berikut manfaat sosiologi dan peranan sosiologi dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU No. 24 / 1960, UU No. 3 / 1971, UU No. 31 / 1999, dan UU No. 20 / 2006). Sosiologi dalam masyarakat adalah untuk meneliti berbagai macam masalah dalam masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang paling efektif khususnya dalam kasus korupsi. Terdapat tiga tahap yaitu, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Penilaian. Dalam kasus korupsi hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Pada tahap perencanaan, disini perencanaan dalam anggaran harus dibuat serinci mungkin dan sesuai dengan kebutuhan,serta terkendali. Tahap pelaksanaan yang harus dilihat adalah jalannya suatu pembangunan/tindakan sesuai dengan apa yang terjadi serta terus melaporkan proses perubahan yang terjadi secara terbuka, dan selalu terawasi/terpantau. Sedangkan pada tahap penilaian, dalam hal ini yang harus dilakukan adalah analisis terhadap masalah/dampak sosial yang akan terjadi dalam suatu pembanguan/tindakan.
Selanjutnya yaitu penelitian, dengan penelitian dan penyidikan sosiologi akan diperoleh suatu perencanaan/pemecahan masalah yang baik. Dalam kasus korupsi hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi dan cara untuk mengatasinya.
Sebagai ahli ilmu kemasyarakatan, para sosiolog tentu sangat berperan dalam membangun masyarakat. Dalam hal korupsi diperlukan untuk pengumpulan dan penggunaan data, dalam mencari tahu data tentang kehidupan sosial pelaku korupsi. Data itu kemudian diolah untuk memberi saran-saran baik dalam penyelesaian kasus korupsi, maupun efek sosial dari kasus korupsi yang terjadi. Peran sosiolog sebagai guru atau pendidik merupakan faktor paling utama dalam memberantas korupsi di Indonesia. Peran ini sangat penting, karena disini mencakup generasi penerus bangsa. Dalam proses pembelajaran guru/sosiolog dapat menjelaskan apa itu korupsi, akibat sosial dari korupsi, serta memberikan pedoman kepada peserta didik tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang berkaitan dengan korupsi.
Dalam kehidupan bermasyarakat penting bagi sosiolog, untuk memberikan pegangan kepada masyarakat dalam mengadakan pengendalian sosial, yaitu system pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku para pejabat. Dengan kekuatan yang dimilikinya berupa semangat dalam menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran serta keberanian dalam menentang segala bentuk ketidak adilan, masyarakat menempati posisi yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, serta pengawal bagi terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Untuk mengatasi maraknya tindakan korupsi dapat ditempuh dengan cara antara lain, perbaikan moral dari diri sendiri, penegakan hukum yang tidak pandang bulu, pengawasan internal dan eksternal yang baik, kontrol sosial dari masyarakat, mengusahakan perbaikan gaji aparatur negara, peningkatan iman dan taqwa. Dengan demikian semua akan berjalan dengan terbuka dan mencegah timbulnya korupsi.[3]

C.    Penyebab dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia di Lihat dari Aspek Sosiologi Hukum
Ø  Penyebab Korupsi di Indonesia:
1.      Tanggung jawab profesi, moral dan sosial yang rendah
2.      Sanksi yang lemah dan penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, Institusi pemeriksa/pengawas yang tidak bersih/independen. Kesadaran hokum sering kali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum yang mana dianggap sebagai variable bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variable tergantung. Kesadaran hukum terletak antara hukum dengan prilaku manusia yang nyata.[4]
3.      Rendahnya disiplin/kepatuhan terhadap Undang-undang dan Peraturan
4.      Kehidupan yang konsumtif, boros dan serakah (untuk memperkaya diri)
5.      Lemahnya pengawasan berjenjang (internal) dalam pelaksanaan tugas
6.      Hilangnya rasa malu ber KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
7.      Wewenang yang besar tidak diikuti evaluasi laporan kinerja
8.      Kesempatan korupsi yg terbuka
9.      Budaya memberi upeti/tips;
10.  Pengaruh lingkungan sosial;
11.  Penghasilan yang rendah dibandingkan dengan kebutuhan hidup yang layak
12.  Lemahnya penghayatan Pancasila dan pengalaman agama
Beberapa sebab (Causa) terjadinya tindak pidana korupsi menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Pemberantasan Tindak Korupsi” sebagai berikut:
1.      Kurangnya Gaji atau Pendapatan Pegawai Negri Dibandingkan dengan Kebutuhan yang Makin Hari Makin Meningkat
Pada umumnyan orang menghubungkan-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan misalnya kurang gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku dan sebagainya (B. Soedarso).
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri memang factor yang menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Berdasarkan laporan hakim agung Warioba di Tanzania tahun 1970, sebab-sebab orang melakukan korupsi ialah sebagi berikut:
o   Kelangkaan kebutuhan pokok berupa barang dan jasa, rendahnya gaji disertai dengan meningkatnya biaya hidup sebelum dan sesudah pension.
o   Ketidakpastian ekonomi bagi masa depan orang
Patut diingat bahwa kurangnya gaji pegawai negri ini dibandingkan dengan kebutuhannya , semakin gawat manakala diperhatikan kebutuhan semakin meningkat sebagai akibat kemajuan teknologi.
2.      Manajemen yang Kurang Baik dan Kontrol yang Kurang Efektif dan Efesien
Terkenal ucapan Prof. Soemitro Alm. yang dikutip oleh media cetak bahwa kebocoran mencapai 30% dari anggaran. Ternyata usaha pendidikan dan pelatihan seperti P4 dan SESPA tidak mempan bukan saja untuk memberantasnya, ttapi juga untuk menguranginya. Korupsi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan seorang widyaiswara di suatu Pusdiklat mengatakan pada tanggal 20 Mei 2002 bahwa sesungguhnya 50% anggaran dimakan oleh penyelenggara. Konsentrasi Raksasa pada piramid Mesir dan dinding besar Cina menunjukan bahwa fungsi manajemen telah sejak lama ada, dalam arti proyek-proyek yang dilaksanakan itu membutuhkan sejumlah orang yang tunduk kepada orang lain untuk melaksanakan tugas.[5]
3.      Karena Modernisasi
Penyebab modernisasi mengembangbiakan korupsi sebagaimana disebutkan oleh Huntington berikut ini:
o   Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat
o   Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi dikarnakan membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungannya dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.
o   Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam kegiatan system politik. Modernisasi terutama di Negara-negara yang baru memulai modernisasi, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.[6]
Sedangkan pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara Masyarakat  masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk tindak korupsi. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini. Contoh paling sederhana di masyarakat kita adalah bila seseorang ingin membuat KTP dalam waktu satu hari langsung jadi padahal ketentuanya satu minggu, seseorang yang akan membuat KTP itu memberikan uang tambahan/tips kepada pegawai kecamatan agar KTP itu jadinya satu hari.
Dari contoh dan realitas diatas suap memakai bahasa lain yang bukan terang- terangan mengatakan ini adalah suap hanya “membantu”. Sebenarnya membantu ini adalah hal yang lumrah tapi disalah gunakan demi kepentingan yang lain dan akhirnya justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi dan penerima.
Ø  Upaya Memberantas Korupsi
1.      Percepatan pemberlakuan asas pembuktian terbalik
2.      Penegakan hukum yang tegas dan konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi
3.      Meningkatkan komitmen, konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi;
4.      Menata kembali organisasi, memperjelas, transparansi, mempertegas tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap instansi;
5.      Menyempurnakan sistem ketatalaksanaan meliputi: perumusan kebijakan (agar tidak terjadi penyalahgunaan kebijakan), perencanaan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan evaluasi pertanggungjawaban kinerja serta kualitas pelayanan masyarakat
6.      Memperbaiki manajemen kepegawaian
7.      Mengembangkan budaya kerja/tertib/malu melakukan KKN
8.      Meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan pelayanan prima.[7]
Ø  Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi:
1.      Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2.      Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.      Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.      Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
5.      Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi;
6.      Berani menindak pelaku korupsi yang melarikan diri ke negara lain.




D.    Tebang Pilih Kasus Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Seperti yang terjadi pada realita koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan dan/atau mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah menghenrankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi panglima tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan.
Para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah berpegang pada hukum positif yang berlaku, namun dari sudut politik, orang tidak hanya melihat pada pelaksanaan hukum, akan tetapi juga mempertimbangkan akibat-akibat suatu keputusan yang berlandaskan hukum pada kepentingan bangsa dan Negara yang lebih luas. Kedua macam sikap dan pandangan itu acap kali menimbulkan keraguan dalam melaksanakan hukum di lapangan.
Jadi sulit sekali bagi kita untuk memisahkan hukum, politik, dan ekonomi mengingat hukum merupakan produk bersama DPR (sekumpulan politisi) dengan pemerintah, walaupun sudah ada political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mengedepankan supremasi hukum, namun hal tersebut belumlah cukup dan mungkin hanya akan menjadi jargon-jargon politik, untuk itu diperlukan political action (aksi politik) yang nyata di lapangan, yang tentunya hal ini akan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Namun mengingat pemerintahan SBY jilid II dibentuk merupakan kualisi partai politik, rasanya lima tahun kedepan sulit bagi kita untuk mengatakan hukum menjadi panglima atau istilah sosiologi hukumnya, hukum baik secara yuridis dan empiris tidak mengalami pertentangan dalam pelaksanaan di masyarakat
Korupsi sebagai musuh bersama, tetap akan ada. Kita tetap akan dipertontonkan keberhasilan aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor, namun jangan banyak berharap para koruptor yang bersembunyi di ketiak penguasa akan tersentuh hukum, kecuali ada keberanian dari pemerintahan SBY bahwa pemberantasan korupsi di negeri tanpa tebang pilih.[8]
Adnan Buyung mengatakan “Dalam Negara hukum yang dianut Indonesia sekarang ada kecenderungan terjadi pergeseran kearah formal legalitas, tanpa melihat substansinya.[9]
E.     Pertanggung Jawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.  Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.  Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.  pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam      Undang-undang   tentang
Kepegawaian;
b.  pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang  Hukum
Pidana;
c.  orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.  orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e.  orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.  Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.








F.     Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Ø  Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
  1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2.      Pidana Penjara
  1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
  2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
  4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
3.      Pidana Tambahan
  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.


Ø  Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
  2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
  3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
  4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
  5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.[10]




KESIMPULAN
Pernyataan korupsi sebagai sebuah istilah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa di lihat sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah tingkah laku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok yang besar seperti seperti bangsa Indonesia. Namun secara filosofis, korupsi di satu pihak bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi itu sendiri. Nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu.
Peranan sosiologi dalam memberantas atau mencegah korupsi, Sosiologi dalam masyarakat adalah untuk meneliti berbagai macam masalah dalam masyarakat dan membantu mencari jalan keluar yang paling efektif khususnya dalam kasus korupsi. Terdapat tiga tahap yaitu, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Penilaian. Dalam kasus korupsi hal ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Pada tahap perencanaan , disini perencanaan dalam anggaran harus dibuat serinci mungkin dan sesuai dengan kebutuhan,serta terkendali. Tahap pelaksanaan yang harus dilihat adalah jalannya suatu pembangunan/tindakan sesuai dengan apa yang terjadi serta terus melaporkan proses perubahan yang terjadi secara terbuka, dan selalu terawasi/terpantau. Sedangkan pada tahap penilaian, dalam hal ini yang harus dilakukan adalah analisis terhadap masalah/dampak sosial yang akan terjadi dalam suatu pembanguan/tindakan. Selanjutnya yaitu penelitian, dengan penelitian dan penyidikan sosiologi akan diperoleh suatu perencanaan/pemecahan masalah yang baik. Dalam kasus korupsi hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya korupsi dan cara untuk mengatasinya.
Berdasarkan tinjauan Sosiologi Hukum terhadap undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ternyata masih belum maksimal bahkan belum mencapai titik keberhasilan dari sinilah perlu kerja keras pejabat pemberantasan serta diiringi dengan peran penting sosiologi dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chairudin. 1991. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan   Internasional. Jakarta: PT Rajawali   Pers.
Honour dan Mainwaring. 1998. Sosiologi dan Bisnis. Jakarta: Bina Aksara.
Salman, Otje. 1993. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: PT Alumni.
Syawaludin, Mohammad. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar Teori dan Metodologi. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/


[1] Mohammad Syawaludin, Sosiologi Suatu Pengantar Teori dan Metodologi, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), Hal. 23.
[2] http://idiesta.blogspot.com/2012/06/pengertian-korupsi.html
[4] Otje, Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT Alumni, 1993), hal. 52.
[5] Honour dan Mainwaring, Sosiologi dan Bisnis, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal, 144.
[6]  Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT Rajawali   Pers, 2008), Ed. Revisi, hal. 13-22.
[9] Chairudin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 109.
[10] http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/

Tidak ada komentar: