Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Khiyar dan Jual Beli Ijon



KHIYAR DAN JUAL BELI IJON

A). I. Hadits Tentang Khiyar dalam Jual Beli (LM 978 & 979)
 حَدِ يْث عَبْدِ ا للهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م ، قَا لَ : اَلْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِاْلخِيَارِعَلَى صَا حِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلَّا يَبْعَ الْخِيَارِ.
حَدِ يْث ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م ، أَنَّهُ قَالَ : إِذَاتَبَايَعَ اَلرُّجُلَانِ فًكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِاْلخِيَارِمَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، وَكَانَا جَمِيْعًا، أَوْيُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَفَتَبَايَعَاعَلَى ذَالِكَ فَقَدْ وَجَبَ اْلبَيْعُ، وَإِنْ تَفَرَّقَابَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَاوَلَمْ يَتْرُكَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اْلبَيْعَ وَجَبَ الَبóJR9O.

II. Makna Kata (Mufradat)
         (اَلْمُتَبَايِعَانِ)              :        Penjual dan pembeli       (البائعين والمشترين)
         (يَتَفَرَّقَا)                   :         Berpisah                        (اِنْفَصَل)
         (اتَبَايَع)                    :         Jual beli                         (بيع وشراء)
         (اَلرُّجُلَانِ)               :        Dua orang                      (شخصين)
         (يَتْرُك)                   :        Melepaskan, berpisah     (طليق)
 
III. Maksud dari Hadits Tentang Khiyar dalam Jual Beli
          Hadits tentang khiyar  diatas pada hadits yang pertama menjelaskan bahwasanya antara penjual dan pembeli diberikan kebebasan dalam menentukan jadi atau gagalnya suatu transaksi dalam jual beli selama keduanya belum berpisah dari majlis, kecuali jika diberi hak untuk memutuskan sesudah berpisah atau sesudah dipikir dirumah. Kemudian pada hadits yang kedua menjelaskan bahwasanya jika terjadi jual beli antara dua orang, masing-masing bebas memilih selama belum berpisah dan setuju, atau yang satu memberikan kebebasan kepada yang lain, kemudian keduanya menetapkan sesuatu, maka telah selesai jual beli menurut ketentuan itu, jika keduanya berpisah sesudah akad jual beli dan masing-masing tidak membatalkan penjualan itu maka telah berlaku jual beli. (Bukhari, Muslim).

IV. Pembahasan
Secara etimologi, khiyar artinya: Memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum  khiyar adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya. Diadakannya khiyar oleh syara' agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran mereka merasa tertipu.
Adapun Macam-Macam Khiyar sebagai berikut:
         Khiyar Majlis
Yaitu penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majlis), khiyar majlis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah Saw bersabda :
اَلبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
Artinya:  "Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak), selama keduanya belum berpisah (dari tempat akad). (HR.Bukhori danMuslim)
Khiyar majelis juga ditetapkan dan berlaku bagi sewa menyewa, tukar menukar, dan upah mengupah.
Boleh menggugurkan khiyar mejelis dengan syarat keduabela pihak saling ridha karena hal   ini adalah hak mereka. Ulama sepakat bahwa tidak ada khiyar majelis pada akad-akad yang harus yang tidak dimaksudkan dengannya tukar menukar, seperti akad nikah, thalaq atau khulu.
Ulama sepakat bahwa tidak ada kiyar majelis dalam akad-akad yang memang tidak harus, misalnya akad mudharabah, penitipan, kongsi dagang, mewakilkan karena akad-akad ini sudah berdiri diatas khiyar majelis.  Apabila penjual dan pembeli tidak mau berpisah dalam waktu yang panjang maka khiyar majelis tetap ada dan terus berlangsung selama belum berpisah.
         Khiyar Syarat
Yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual ataupun oleh pembeli. Diperbolehkan kepada Mutabaayi’aani atau kepada salah seorang diantara mereka untuk memberikan syarat dalam khiyar mengenai barang yang akan dijual jika pihak lainnya menyetujui, yaitu dengan jangka waktu tiga hari dihitung dari akad. Apabila masa khiyar itu melebihi tiga hari, atau ternyata barang dagangannya ada yang rusak selama masa yang disyaratkan, maka akadnya menjadi batal. seperti seseorang berkata,  “Saya jual rumah ini dengan harga 50 dinar dengan syarat khiyar selama 3 hari”.
Sabda Rasulullah SAW. :
أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِيْ كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا ثَلَاثَ لَيَالٍ
Artinya : "Engkau boleh khiyar pada segala macam barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam" (HR.Baihaqi dan Ibnu Majah).          
         Khiyar ‘Aibi
Menurut ulama fikih khiyar ‘Aib (cacat) adalah:  Keadaan yang membolehkan salah seoarang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar – menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad. seperti seseorang berkata, “Saya beli hp itu seharga sekian, bila hp itu cacat akan saya kembalikan”. Cacat disini maksudnya, cacat yang sudah ada pada barang yang dibawa, bukan karena tangan pembeli, seperti dibawa kemudian ada halangan yang mengakibatkan cacat, tetapi cacat yang sudah ada sejak dahulunya.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan kepada penjual. (HR Ahmad & Abu Dawud).
Dalam riwayat lain khiyar dijelaskan sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ أَقَالَ مُسْلِماً بَيْعَتَهُ, أَقَالَهُ اَللَّهُ عَثْرَتَهُ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
Artinya : “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Di riwayat lain juga menjelaskan tentang khiyar di dalam jual beli sebagai berikut:
وَعَنِ عَمِرو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ اَّلَّنبِيَّ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (البَائِعُ وَاْلمُبْتاَعُ باِلْخِيَارِ حَتَّى يَتضفَرَّقَا اِلَّا اَنْ تَكُوْنُ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُ اَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ اَنْ يَسْتَقْبِلَهُ ) رواه الخمسة الا ابن ماجه
Artinya: “Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.”
Keterangan
                -
حتى يتفرقا   Al-Murad bih; tafarruq bi al-abdan, seperti keterangan dalam penjelasan sebelumnya.  Dalam riwayat lain disebutkan:   حتى يتفرقا بمكانها  - الا ان تكون صفقة خيار
Maksudnya apabil ditetapkan dalam jual beli tersebut akad khiyar maka perpisahan badan tidak dipertimbangkan.  -
ولا يحل له ان يفارقه خشية ان يستقبله Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadis tersebut berkata bahwa yang dimaksud dengan lafazd  pada “ولا يحل له ان يفارقه خشية ان يستقبله adalah tidak halal bagi salah satu dari mereka meninggalkan rekannya setelah jual beli karena khawatir dibatalkan. Al-Murad biqoulih      ان يستقبله       adalah tuntutan untuk membatalkan bai’.  Makna lain dari hadits diatas adalah tidak halal meninggalkan rekannya ketika melihat adanya kecondongan dari rekannya untuk mengembalikan barang. Walaupun pada dasarnya mufaraqah tetap diperbolehkan.
Kesimpulan Hadits Tentang Khiyar
Khiyar yaitu kebebasan memilih antara penjual dan pembeli untuk  meneruskan akad jual beli atau membatalkankan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari karena merasa tertipu. Hikmah disyariatkannya hak pilih adalah membuktikan dan mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian. Juga untuk menghindari upaya penipuan salah satu pihak baik penjual ataupun pembeli. Seperti yang telah diriwayatkan dalam hadits Nabi:

وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : ذَكَرَ رَجُل لِرَسُوْ لِ اللهِ صَلّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّم اَنَّهُ يُخْدَعُ فِى الْبُيُوْعِ فَقَالَ : اِذَا بَايَعْتَ فَقَلَ لَا خِلَابَةَ. مُتَفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: “Dan diriwayatkan dari Ibu Umar: Telah datang seorang kepada Rosulullah SAW saya selalu ditipu dalam jual beli. Maka Nabi bersabda: Ketika jual beli katakanlah Laa Khilabah (tidak ada tipuan) Oleh sebab itu, syariat hanya menetapkan dalam kondisi tertentu saja, atau ketika salah satu pihak yang terlibat menegaskannya sebagai persyaratan.”
            Hukum yang dapat diambil dari kedua hadits diatas adalah bahwasanya dalam jual beli di berikan kebebasan antara penjual dan pembeli untuk memilih, memutuskan jadi atau gagalnya transaksi jual beli tersebut selama keduanya belum berpisah dari majlis, kecuali jika diberi hak untuk memutuskan sesudah berpisah atau sesudah dipikir dirumah. jika keduanya berpisah sesudah akad jual beli dan masing-masing tidak membatalkan penjualan itu maka telah berlaku jual beli.
 
B). I. Hadits Tentang Jual Beli Ijon (LM 982)
حَدِ يْثُ عَبْدِ ا للهِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُوَصَلَا حُهَا، نَهَا الْبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاَعَ.

II. Makna Kata (Mufradat)
         (نَهَى)                     :                  Melarang                        (مَنَعَ)
         (بَيْعِ)                      :                  Menjual                          (باَعَ)
         (الثِّمَارِ)                   :                  Buah                              (فاكهة)
         (الْبَا ئِعَ)                   :                  Penjual                           (بَيَّاعَ)
         (اْلمُبْتَاَعَ)                  :                  Pembeli                          (مشتر)

III. Maksud (Inti) Hadits Tentang Jual Beli Ijon
            Hadits riwayat bukhari muslim diatas menjelaskan bahwasanya Rasulullah SAW. melarang menjual buah yang masih dipohonnya hingga terlihat nyata baiknya, Rasulullah saw. melarang baik yang menjual maupun yang membeli.

IV. Pembahasan
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlarah, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau. Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.
Riwayat lain menjelaskan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw. telah  melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya”. (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin, semuanya dari  Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar [hasil tanaman]) yang masih berada di pohonnya jika belum mulai tampak kelayakannya.  Sebaliknya, mafhûm al-mukhâlafah (pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan bolehnya menjual buah yang masih di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya. Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Pendapat Para Fuqaha
Sebelum madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk diperjual-belikan. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
Artinya: “Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
Artinya: “Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”. (Muttafaq alaih)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad. Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
         Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
         Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
         Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedangkan para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.
Hikmah Larangan Menjual Buah Yang Masih Hijau
         Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
          Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.
         Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, sehubungan dengan pesan Rasulullah Saw :
لَوْبِعْتَ مِنْ اَحِيْكَ ثَمَرًا فَأَ صَابَتْهُ حَائِجَةٌ, فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْأً, بِمَا تَاءْ خُذُ مَالَ اضَحِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ  (رواه مسلم)
Artinya:
“Jika engkau jual kepada saudaramu buah lalu ditimpa bahaya, maka tidak boleh engkau ambil daripadanya sesuatu. Dengan jalan apa engkau mengambil harta saudaramu degan tidak benar”. (HR. Muslim)
         Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.
Hukum yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku untuk buah atau tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika masih hijau seperti misalnya : jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag masanya di petik sesudah matang, tetapi bisa juga di petik waktu muda untuk dinikmati dengan cara-cara tertentu. Jika buah ini memang dimaksudkan dengan jelas untuk di makan selagi muda, tidak mengandung kesamaran (gharar) tidak ada unsur penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko, sehingga tidak memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, hukumnya sama dengan buah yang sudah nampak baiknya.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
         Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
         Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
          Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedangkan para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya.Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.
 Kesimpulan Hadits Tentang Jual Beli Ijon
Pada intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak diperbolehkan, karena pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum yang berupa hadits Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon sudah ada sejak zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun prakteknya masih terus berlaku sampai sekarang.
Perbedaan pendapat yang terjadi pada para fuqaha, sebenarnya berpangkal pada prinsip yang sama, yaitu sama-sama menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya yang berbeda. Abu Hanifah atau Imam hanafiyah membolehkan menjual buah-buahan yang masih hijau dengan syarat dipetik, dan tidak membolehkan yang tetap berada di pohon dengan alasan karena penjualan mengharuskan diserahkan. Sedang jumhur dan ulama membolehkan dengan syarat dipetik dengan alasan menghilangkan dari adanya kerusakan atau adanya serangan hama yang biasanya terjadi pada buah-buahan sebelum buah bercahaya.
            Hukum yang dapat diambil dari hadits diatas, bahwasanya Rasulullah saw.  melarang menjual buah yang masih dipohonnya hingga tampak hasil baiknya. Rasulullah saw. melarang keduanya, baik yang menjual buah tersebut maupun orang yang membelinya.

DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy, Salim. 1979. Al-Lu’lu’al Wal Marjan. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Fu’ad, Muhammad Abdul Baqi. 1979. Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Hajar, Ibnu al-Asqalani. 2007. Terjemahan Lengkap Bulughul Maram. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Qasim, Muhammad al-Ghizzi. 1995. Fathul Qarib. Bandung: Trigenda Karya.
Rifa’I, Mohammad dkk. 1978. Kifayatul Akhyar. Semarang: CV. Toha Putra.

Tidak ada komentar: