TINJAUAN HUKUM TERHADAP KASUS
PENYERANGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN CEBONGAN
Analisis KUHP dan KUHPM
A.
Kronologi
Kasus Penyerangan Lapas Cebongan Sleman
Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, dilatar belakangi oleh pengeroyokan dan
pembunuhan terhadap Serka Heru Santoso di Hugo's Cafe pada 19 Maret 2013 dan
pengeroyokan terhadap mantan anggota Kopassus Sertu Sriyono pada 20 Maret 2013. Dalam peristiwa penyerangan ke
lapas, empat tersangka kasus pembunuhan Serka Santoso ditembak mati, yakni
Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi
alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
Ketua Tim Investigasi TNI AD,
Brigjen TNI Unggul Yudhoyono, mengungkapkan, kronologis eksekusi tahanan di
Lapas Cebongan. Dipaparkan, kasus penyerangan Lapas Cebongan Sleman pada 23
Maret 2013 sekitar pukul 00.15 WIB itu dilakukan oleh 11 oknum anggota
Kopassus, di mana tiga orang di antaranya berasal dari daerah latihan di Gunung
Lawu. "Pelaku 11 orang dengan satu orang eksekutor berinisial U. Mereka
menggunakan dua unit kendaraan Avanza berwarna merah dan APV warna hitam,"
jelasnya. Dalam melakukan penyerangan, ke11 oknum anggota Grup 2 Kopassus itu
dilengkapi 6 senjata api, terdiri dari 3 pucuk senjata laras penjang jenis
AK-47 yang dibawa dari markas latihan Gunung Lawu, 2 pucuk AK-47 replika dan 1
pucuk pistol SIG Sauer replica.
Keinginan untuk melakukan
penyerangan didasari tewasnya rekan mereka Serka Heru Santoso yang dikeroyok
preman di Hugo's Cafe dan pembacokan terhadap mantan anggota Kopassus, Sertu
Sriyono pada 20 Maret. Mendengar berita duka ini, salah satu prajurit
berinisial U yang sedang ikut latihan di Gunung Lawu, kemudian turun gunung dan
kembali ke markas Grup 2 Kopassus Kartosuro. Selanjutnya U mengajak beberapa
teman lainnya yang ada di markas untuk melakukan balas dendam atas perbuatan
para preman itu. Namun, dari 11 orang pelaku yang ikut dalam penyerangan, hanya
9 orang yang terkait langsung. Menurut Brigjen TNI Unggul, dua prajurit lainnya
berusaha mencegah aksi itu, namun tidak berhasil.
Mengetahui rekan seangkatannya tewas
di tangan korban Lapas 2B Cebongan, sebelas rekan seangkatan Sriyono langsung
menyimpan dendam terhadap empat orang yang mengeksekusi Heru dan Sriyono di
tempat kejadian. Selanjutnya, rekan-rekan Heru dan Sriyono yang tergabung dalam
grup 2 kopassus, seusai latihan dari Gunung Lawu, langsung mendatangi Lapas
Cebongan. "Mereka adalah anggota kopassus, jadi sangat mudah untuk
menemukan lapas, dimana pelaku yang menewaskan rekan seangkatannya" ujar
Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul
K Yudhoyono saat konferensi Pers di Kartika Media Center, Jakarta Pusat
(4/4/2013).
Dengan bersenjatakan enam pucuk
senjata, jenis senjata AK 47 berjumlah tiga buah yang dibawa dari tempat
latihan, dan tiga pucuk senjata lainnya adalah replika AK 47 dan pistol.
Kemudian, Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen
TNI Unggul K Yudhoyono mengungkapkan, bahwa datangnya kesebelas rekan
seangkatan Sriyono menggunakan dua unit kendaraan, yaitu satu unit mobil Avanza
berwarna biru dan satu lagi menggunakan kendaraan APV berwarna hitam. Lalu
terdapat satu kendaraan lagi yaitu mobil feroza yang diisi oleh dua orang
kopassus untuk mencegah kejadian tersebut, namun tidak berhasil untuk dicegah.
Setelah sampainya di lapas cebongan,
grup dua kopassus tersebut langsung mendatangi petugas piket yang berjaga
disana. Saat ditodongkan senjata AK 47, akhirnya petugas lapas membuka pintu
lapas dan menunjukkan ruang tahanan tersebut. Saat dimintai keterangan terkait
dengan CCTV lapas, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono menjelaskan gerakan kopassus
itu sudah seperti ninja, karena mereka memang sudah dilatih untuk cepat dan
tidak terdeteksi.
Berikut kronologi
penyerbuan yang dikutip dari detiknews.com, sebagai berikut :
Ø Pukul
01.00 WIB 3 Mobil berhenti di depan Lapas Sleman. belasan orang turun dari
mobil. Mereka memakai penutup kepala dan membawa senjata api lengkap
Ø Pukul
01.30 WIB belasan orang bersenjata lengkap ini akhirnya bisa masuk ke dalam
Lapas. Mereka menodongkan pistol ke arah para penjaga. CCTV pun dirusak. Di
bawah ancaman pistol, para pelaku memaksa sipir menunjukkan lokasi tahanan
pengeroyok anggota Kopassus.
Ø Pukul
01.45 WIB Para pelaku menganiaya sipir. Setelah itu, mereka akhirnya dibawa
sipir ke kamar tahanan A5. Para penyerbu kemudian memisahkan 4 tahanan dengan
tahanan yang lain.
Ø Pukul
02.30 WIB Setelah mendapatkan 4 tahanan pengeroyok rekan mereka, para pelaku
kemudian melakukan eksekusi. 4 Tahanan tewas dibunuh. Para penyerbu kemudian
meninggalkan lokasi.
Setelah berhasil membalas dendam
atas terbunuhnya rekan seangkatan mereka, belasan orang tersebut langsung
meninggalkan Lapas cebongan Sleman dengan cepat.
B.
Analisis
KUHP dan KUHPM Terhadap Kasus Penyerangan Lapas Cebongan
Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo
Yusgiantoro mengatakan, ada perbedaan antara sanksi pidana umum atau sipil,
dengan sanksi pidana yang melibatkan anggota militer. Dalam kasus penyerangan
Lapas Cebongan, tentu para pelaku yang merupakan anggota Kopassus akan
mendapatkan sanksi yang lebih berat. "Seorang anggota militer yang
melakukan tindak pidana, mendapatkan hukuman yang lebih berat dibanding
masyarakat sipil," ujar Purnomo saat jumpa pers di Kementerian Pertahanan,
Jakarta, Kamis (11/4/2013). Purnomo menjelaskan, faktor pemberat bagi pelaku
tindak pidana dari anggota militer, menggunakan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. "Karena yang
diberlakukan adalah KUHP dan KUHP Militer, serta undang-Undang lain yang
terkait pidana," jelas Purnomo.
Purnomo
memastikan dan menjamin, pengadilan militer terhadap para pelaku yang telah
menewaskan empat tahanan, akan dibuka secara transparan.
Dalam
kasus Cebongan, para pelaku tidak cukup dikenakan pasal-pasal dalam KUHPM
karena apa yang dilakukan pelaku tidak terdapat pengaturannya. Untuk
menjawabnya, permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada sejarah pembentukan
kedua Undang-Undang itu. Pada tahun 1799, di Belanda, rancangan KUHP dan KUHPM
dibahas dan direncanakan selesai bersama-sama. Kemudian, pada tahun 1886, atas
prakarsa Van Der Hoeven Guru Besar Universitas Leiden disadari bahwa tidak
mungkin membuat dua UU dengan materi sama. Disadari bahwa KUHP merupakan lex
ge-neralis, sedangkan KUHPM ada- lah lex specialis.
Di Indonesia, melalui UU No 39
Tahun 1947, baik Pasal 1 maupun Pasal 2, ditegaskan bahwa sepanjang tidak
terdapat ketentuan dalam KUHPM, yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP. Kedua
UU saling melengkapi, seperti halnya penyelidikan oleh TNI, Polri, dan Komnas
HAM. Begitu juga dalam keadaan yang amat perlu, untuk meng- akomodasi aspirasi
masyarakat dan tuntutan keadilan, diangkat majelis hakim atau tim oditur dari
kalangan sipil yang diberi pangkat tituler.
Anggota Komisi III DPR, Saan Mustopa menerangkan harus
dilakukan investigasi lebih lanjut soal ada tidaknya unsur pelanggaran HAM
dalam kasus Cebongan. "Ini kan ada motivasi balas dendam. Kalau memang
unsurnya balas dendam, tentu ada proses pertikaian. Jadi biarkan proses hukum
yang berjalan," terang Saan. Dia mengaku penanganan kasus Cebongan
sebaiknya diselesaikan di pengadilan umum saja. Sehingga penanganannya menjadi
lebih transparan dan terbuka.
KUHP hanya menyediakan dua pasal yaitu Pasal 338 untuk
pembunuhan biasa dan Pasal 340 untuk pembunuhan berencana; sedangkan UU RI
Nomor 26 Tahun 2000 hanya membedakan dua kategori pelanggaran HAM yaitu
genosida dan kejahatan kemanusiaan. Jika merujuk pada dua kategori tersebut,
peristiwa Cebongan belum termasuk pelanggaran HAM karena kejahatan kemanusiaan
masih harus dibuktikan dipenuhinya “systematic and widespread attack to civil
population” yang direncanakan dan atas perintah komandan. Sedangkan untuk
genosida masih harus dibuktikan bahwa penyerangan dan pembunuhan oleh oknum
Kopassus ditujukan untuk membasmi dan menghapuskan etnis tertentu.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan, 11
pelaku penyerangan LP Cebongan, harus tetap dibawa ke peradilan militer.
Pasalnya, pelaku penembakan adalah anggota TNI. "Maka sudah selayaknya
yang melakukan peradilannya itu bukan peradilan umum, tetapi peradilan militer,
dan ini sesuai undang-undang," ungkapnya dalam konferensi pers di kantor
Kemenhan, Jakarta Pusat, (11/4/2013).
Saat
seorang anggota TNI melakukan tindak pidana pembunuhan, sambung Purnomo, maka
akan mendapatkan hukuman yang lebih berat. Karena diberikan dua sanksi yakni
ditindak menurut KUHP dan KUHP Militer. Jadi seorang anggota militer yang
melakukan tindak pidana itu mendapat hukuman yang lebih berat dari masyarakat
sipil yang melakukan tindak pidana. Karena yang diberlakukan adalah KUHP dan
KUHP Militer, dan undang-undang lain yang terkait dengan pidana,"
terangnya. Dengan begitu, Purnomo menginginkan agar masyarakat tahu, bahwa
sanksi yang diberikan pada aparat TNI tersebut tetap mendapatkan hukuman yang
berat meskipun menjalani peradilan di pengadilan militer.
Pemeriksaan
terhadap 11 anggota Kopassus yang dilakukan Puspom TNI AD dan Polisi Militer
Daerah Militer (Pomdam) IV/Diponegoro dinyatakan telah selesai. Ke-38 penyidik
gabungan yang terdiri dari tiga perwira Puspom TNI AD dan 35 perwira Pomdam
IV/Diponegoro telah memeriksa secara intensif 11 prajurit tersebut di Makodam
IV Diponegoro di Semarang sejak dibawa dari Solo pada Senin (8/4). Tim penyidik
gabungan juga telah memeriksa Komandan Grup II Kopassus Kandang Menjangan
Letkol Inf Maruli Simanjuntak dan sejumlah staf pimpinan Grup II Kopassus. Saat
ini, penyidik tengah merencanakan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, utamanya
tahanan dan sipir Lapas Cebongan yang menyaksikan pembantaian empat tahanan
tersangka pembunuh anggota Detasemen Pelaksana Intelijen Kodam IV Diponegoro
Serka Heru Santoso di Hugo"s Caf", Jogjakarta. Penyidik belum
menentukan apakah pemeriksaan akan dilakukan di Semarang atau penyidik yang
akan bergeser ke Jogja. Penyidik juga telah berkoordinasi dengan Oditur Militer
II-11 Jogjakarta yang nantinya akan bertindak sebagai jaksa dalam persidangan
yang rencananya akan digelar di Pengadilan Militer Banguntapan, Bantul. Untuk
mempercepat proses penyidikan, Kepala Oditur Militer II-11 Jogjakarta Letkol
(Sus) Budiarto bahkan ikut memantau langsung proses penyidikan di Detasemen
Polisi Militer Kodam IV/Diponegoro di Semarang sehingga berkas-berkas yang
dibutuhkan tidak bolak-balik Semarang-Jogja. Para penyidik akan bekerja
maksimal, secepat-cepatnya dan sesegera mungkin. Kami tak pakai target. Begitu
selesai langsung berkas pemeriksaan diserahkan ke Oditur Militer di
Jogjakarta," ujar Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro Kolonel (Inf)
Widodo Rahardjo, Kamis (11/4). Sejak Senin lalu, penyidik gabungan telah
menetapkan sebelas anggota Kopassus tersebut sebagai tersangka penyerangan
Lapas Cebongan. Mereka terdiri dari sepuluh bintara Serda US, Sertu S, Sertu
TJ, Sertu AR, Serda SS, Sertu MRPB, Sertu HS, Serda IS, Serma M dan Serma MZ.
Selain itu, ada pula seorang bintara Kopassus berinisial Koptu K. Mabes TNI AD
juga telah menyediakan 12 pengacara dari TNI AD untuk mendampingi para anggota
dalam menjalani proses hukum.
Berdasarkan analisis terdapat perbedaan pendapat
mengenai kompetensi peradilan yang berwenang.
Menurut Purnomo, berdasarkan Undang-undang 31 tahun 97 tentang peradilan
hukum mewajibkan seorang tentara yang melakukan pidana harus diadili
secara militer. “Mereka
adalah anggota TNI. Peradilan militer sesuai UU peradilan hukum,” tandasnya. “Seorang anggota militer yang melakukan tindak pidana akan lebih parah
dibanding orang biasa,” kata Menhan Purnomo, Kamis (11/04/13). Sedangkan pernyataan
yang dikemukakan oleh Araf, menurutnya pelaku kasus Cebongan seharusnya dikenai
pidana umum. Jika menggunakan pidana militer, ucapnya, malah melanggar
konstitusi UUD 1945 pasal 27 bahwa setiap warga negara sama di mata hukum.
Karena inilah, aparat kepolisian tidak bisa lepas tangan menyerahkan proses
hukum ke TNI. Karena mekanisme peradilannya menggunakan KUHAP, hukum materinya
menggunakan KUHP," ucap Araf.
Pada ketentuan
KUHPM tidak mengatur adanya ketentuan peristiwa terjadinya pembunuhan
berencana.
Kini semua masyarakat sangat menantikan putusan dari
pengadilan kepada pelaku penyerangan Lapas Cebongan, besar harapan terhadap
putusan tersebut supaya diputuskan dengan seadil-adilnya dan tepat berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku baik berdasarkan hukum yang termuat dalam KUHP
maupun KUHPM. Proses hukum ini amatlah penting agar didapat suatu efek
penjeraan/ Deterence, supaya tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan berulang yang disebabkan kurangnya efek penjeraan terhadap pelaku
tindak pidana sehingga pelanggaran maupun kejahatan dapat segera mungkin
dimusnakan dari muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar