Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Analisis Kasus Penyerangan Lapas Cebongan



TINJAUAN HUKUM TERHADAP KASUS PENYERANGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN CEBONGAN
Analisis KUHP dan KUHPM


A.    Kronologi Kasus Penyerangan Lapas Cebongan Sleman
            Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, dilatar belakangi oleh pengeroyokan dan pembunuhan terhadap Serka Heru Santoso di Hugo's Cafe pada 19 Maret 2013 dan pengeroyokan terhadap mantan anggota Kopassus Sertu Sriyono pada  20 Maret 2013. Dalam peristiwa penyerangan ke lapas, empat tersangka kasus pembunuhan Serka Santoso ditembak mati, yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
            Ketua Tim Investigasi TNI AD, Brigjen TNI Unggul Yudhoyono, mengungkapkan, kronologis eksekusi tahanan di Lapas Cebongan. Dipaparkan, kasus penyerangan Lapas Cebongan Sleman pada 23 Maret 2013 sekitar pukul 00.15 WIB itu dilakukan oleh 11 oknum anggota Kopassus, di mana tiga orang di antaranya berasal dari daerah latihan di Gunung Lawu. "Pelaku 11 orang dengan satu orang eksekutor berinisial U. Mereka menggunakan dua unit kendaraan Avanza berwarna merah dan APV warna hitam," jelasnya. Dalam melakukan penyerangan, ke11 oknum anggota Grup 2 Kopassus itu dilengkapi 6 senjata api, terdiri dari 3 pucuk senjata laras penjang jenis AK-47 yang dibawa dari markas latihan Gunung Lawu, 2 pucuk AK-47 replika dan 1 pucuk pistol SIG Sauer replica.
            Keinginan untuk melakukan penyerangan didasari tewasnya rekan mereka Serka Heru Santoso yang dikeroyok preman di Hugo's Cafe dan pembacokan terhadap mantan anggota Kopassus, Sertu Sriyono pada 20 Maret. Mendengar berita duka ini, salah satu prajurit berinisial U yang sedang ikut latihan di Gunung Lawu, kemudian turun gunung dan kembali ke markas Grup 2 Kopassus Kartosuro. Selanjutnya U mengajak beberapa teman lainnya yang ada di markas untuk melakukan balas dendam atas perbuatan para preman itu. Namun, dari 11 orang pelaku yang ikut dalam penyerangan, hanya 9 orang yang terkait langsung. Menurut Brigjen TNI Unggul, dua prajurit lainnya berusaha mencegah aksi itu, namun tidak berhasil.
            Mengetahui rekan seangkatannya tewas di tangan korban Lapas 2B Cebongan, sebelas rekan seangkatan Sriyono langsung menyimpan dendam terhadap empat orang yang mengeksekusi Heru dan Sriyono di tempat kejadian. Selanjutnya, rekan-rekan Heru dan Sriyono yang tergabung dalam grup 2 kopassus, seusai latihan dari Gunung Lawu, langsung mendatangi Lapas Cebongan. "Mereka adalah anggota kopassus, jadi sangat mudah untuk menemukan lapas, dimana pelaku yang menewaskan rekan seangkatannya" ujar Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono saat konferensi Pers di Kartika Media Center, Jakarta Pusat (4/4/2013).
            Dengan bersenjatakan enam pucuk senjata, jenis senjata AK 47 berjumlah tiga buah yang dibawa dari tempat latihan, dan tiga pucuk senjata lainnya adalah replika AK 47 dan pistol. Kemudian, Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono mengungkapkan, bahwa datangnya kesebelas rekan seangkatan Sriyono menggunakan dua unit kendaraan, yaitu satu unit mobil Avanza berwarna biru dan satu lagi menggunakan kendaraan APV berwarna hitam. Lalu terdapat satu kendaraan lagi yaitu mobil feroza yang diisi oleh dua orang kopassus untuk mencegah kejadian tersebut, namun tidak berhasil untuk dicegah.
            Setelah sampainya di lapas cebongan, grup dua kopassus tersebut langsung mendatangi petugas piket yang berjaga disana. Saat ditodongkan senjata AK 47, akhirnya petugas lapas membuka pintu lapas dan menunjukkan ruang tahanan tersebut. Saat dimintai keterangan terkait dengan CCTV lapas, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono menjelaskan gerakan kopassus itu sudah seperti ninja, karena mereka memang sudah dilatih untuk cepat dan tidak terdeteksi.
            Berikut kronologi penyerbuan yang dikutip dari detiknews.com, sebagai berikut :
Ø  Pukul 01.00 WIB 3 Mobil berhenti di depan Lapas Sleman. belasan orang turun dari mobil. Mereka memakai penutup kepala dan membawa senjata api lengkap
Ø  Pukul 01.30 WIB belasan orang bersenjata lengkap ini akhirnya bisa masuk ke dalam Lapas. Mereka menodongkan pistol ke arah para penjaga. CCTV pun dirusak. Di bawah ancaman pistol, para pelaku memaksa sipir menunjukkan lokasi tahanan pengeroyok anggota Kopassus.
Ø  Pukul 01.45 WIB Para pelaku menganiaya sipir. Setelah itu, mereka akhirnya dibawa sipir ke kamar tahanan A5. Para penyerbu kemudian memisahkan 4 tahanan dengan tahanan yang lain.
Ø  Pukul 02.30 WIB Setelah mendapatkan 4 tahanan pengeroyok rekan mereka, para pelaku kemudian melakukan eksekusi. 4 Tahanan tewas dibunuh. Para penyerbu kemudian meninggalkan lokasi.
            Setelah berhasil membalas dendam atas terbunuhnya rekan seangkatan mereka, belasan orang tersebut langsung meninggalkan Lapas cebongan Sleman dengan cepat.

B.     Analisis KUHP dan KUHPM Terhadap Kasus Penyerangan Lapas Cebongan
            Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro mengatakan, ada perbedaan antara sanksi pidana umum atau sipil, dengan sanksi pidana yang melibatkan anggota militer. Dalam kasus penyerangan Lapas Cebongan, tentu para pelaku yang merupakan anggota Kopassus akan mendapatkan sanksi yang lebih berat. "Seorang anggota militer yang melakukan tindak pidana, mendapatkan hukuman yang lebih berat dibanding masyarakat sipil," ujar Purnomo saat jumpa pers di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (11/4/2013). Purnomo menjelaskan, faktor pemberat bagi pelaku tindak pidana dari anggota militer, menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. "Karena yang diberlakukan adalah KUHP dan KUHP Militer, serta undang-Undang lain yang terkait pidana," jelas Purnomo.
            Purnomo memastikan dan menjamin, pengadilan militer terhadap para pelaku yang telah menewaskan empat tahanan, akan dibuka secara transparan.
            Dalam kasus Cebongan, para pelaku tidak cukup dikenakan pasal-pasal dalam KUHPM karena apa yang dilakukan pelaku tidak terdapat pengaturannya. Untuk menjawabnya, permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada sejarah pembentukan kedua Undang-Undang itu. Pada tahun 1799, di Belanda, rancangan KUHP dan KUHPM dibahas dan direncanakan selesai bersama-sama. Kemudian, pada tahun 1886, atas prakarsa Van Der Hoeven Guru Besar Universitas Leiden disadari bahwa tidak mungkin membuat dua UU dengan materi sama. Disadari bahwa KUHP merupakan lex ge-neralis, sedangkan KUHPM ada- lah lex specialis.
            Di Indonesia, melalui UU No 39 Tahun 1947, baik Pasal 1 maupun Pasal 2, ditegaskan bahwa sepanjang tidak terdapat ketentuan dalam KUHPM, yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP. Kedua UU saling melengkapi, seperti halnya penyelidikan oleh TNI, Polri, dan Komnas HAM. Begitu juga dalam keadaan yang amat perlu, untuk meng- akomodasi aspirasi masyarakat dan tuntutan keadilan, diangkat majelis hakim atau tim oditur dari kalangan sipil yang diberi pangkat tituler.
            Anggota Komisi III DPR, Saan Mustopa menerangkan harus dilakukan investigasi lebih lanjut soal ada tidaknya unsur pelanggaran HAM dalam kasus Cebongan. "Ini kan ada motivasi balas dendam. Kalau memang unsurnya balas dendam, tentu ada proses pertikaian. Jadi biarkan proses hukum yang berjalan," terang Saan. Dia mengaku penanganan kasus Cebongan sebaiknya diselesaikan di pengadilan umum saja. Sehingga penanganannya menjadi lebih transparan dan terbuka.
            KUHP hanya menyediakan dua pasal yaitu Pasal 338 untuk pembunuhan biasa dan Pasal 340 untuk pembunuhan berencana; sedangkan UU RI Nomor 26 Tahun 2000 hanya membedakan dua kategori pelanggaran HAM yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan. Jika merujuk pada dua kategori tersebut, peristiwa Cebongan belum termasuk pelanggaran HAM karena kejahatan kemanusiaan masih harus dibuktikan dipenuhinya “systematic and widespread attack to civil population” yang direncanakan dan atas perintah komandan. Sedangkan untuk genosida masih harus dibuktikan bahwa penyerangan dan pembunuhan oleh oknum Kopassus ditujukan untuk membasmi dan menghapuskan etnis tertentu.
            Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan, 11 pelaku penyerangan LP Cebongan, harus tetap dibawa ke peradilan militer. Pasalnya, pelaku penembakan adalah anggota TNI. "Maka sudah selayaknya yang melakukan peradilannya itu bukan peradilan umum, tetapi peradilan militer, dan ini sesuai undang-undang," ungkapnya dalam konferensi pers di kantor Kemenhan, Jakarta Pusat, (11/4/2013).
            Saat seorang anggota TNI melakukan tindak pidana pembunuhan, sambung Purnomo, maka akan mendapatkan hukuman yang lebih berat. Karena diberikan dua sanksi yakni ditindak menurut KUHP dan KUHP Militer. Jadi seorang anggota militer yang melakukan tindak pidana itu mendapat hukuman yang lebih berat dari masyarakat sipil yang melakukan tindak pidana. Karena yang diberlakukan adalah KUHP dan KUHP Militer, dan undang-undang lain yang terkait dengan pidana," terangnya. Dengan begitu, Purnomo menginginkan agar masyarakat tahu, bahwa sanksi yang diberikan pada aparat TNI tersebut tetap mendapatkan hukuman yang berat meskipun menjalani peradilan di pengadilan militer.
            Pemeriksaan terhadap 11 anggota Kopassus yang dilakukan Puspom TNI AD dan Polisi Militer Daerah Militer (Pomdam) IV/Diponegoro dinyatakan telah selesai. Ke-38 penyidik gabungan yang terdiri dari tiga perwira Puspom TNI AD dan 35 perwira Pomdam IV/Diponegoro telah memeriksa secara intensif 11 prajurit tersebut di Makodam IV Diponegoro di Semarang sejak dibawa dari Solo pada Senin (8/4). Tim penyidik gabungan juga telah memeriksa Komandan Grup II Kopassus Kandang Menjangan Letkol Inf Maruli Simanjuntak dan sejumlah staf pimpinan Grup II Kopassus. Saat ini, penyidik tengah merencanakan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, utamanya tahanan dan sipir Lapas Cebongan yang menyaksikan pembantaian empat tahanan tersangka pembunuh anggota Detasemen Pelaksana Intelijen Kodam IV Diponegoro Serka Heru Santoso di Hugo"s Caf", Jogjakarta. Penyidik belum menentukan apakah pemeriksaan akan dilakukan di Semarang atau penyidik yang akan bergeser ke Jogja. Penyidik juga telah berkoordinasi dengan Oditur Militer II-11 Jogjakarta yang nantinya akan bertindak sebagai jaksa dalam persidangan yang rencananya akan digelar di Pengadilan Militer Banguntapan, Bantul. Untuk mempercepat proses penyidikan, Kepala Oditur Militer II-11 Jogjakarta Letkol (Sus) Budiarto bahkan ikut memantau langsung proses penyidikan di Detasemen Polisi Militer Kodam IV/Diponegoro di Semarang sehingga berkas-berkas yang dibutuhkan tidak bolak-balik Semarang-Jogja. Para penyidik akan bekerja maksimal, secepat-cepatnya dan sesegera mungkin. Kami tak pakai target. Begitu selesai langsung berkas pemeriksaan diserahkan ke Oditur Militer di Jogjakarta," ujar Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro Kolonel (Inf) Widodo Rahardjo, Kamis (11/4). Sejak Senin lalu, penyidik gabungan telah menetapkan sebelas anggota Kopassus tersebut sebagai tersangka penyerangan Lapas Cebongan. Mereka terdiri dari sepuluh bintara Serda US, Sertu S, Sertu TJ, Sertu AR, Serda SS, Sertu MRPB, Sertu HS, Serda IS, Serma M dan Serma MZ. Selain itu, ada pula seorang bintara Kopassus berinisial Koptu K. Mabes TNI AD juga telah menyediakan 12 pengacara dari TNI AD untuk mendampingi para anggota dalam menjalani proses hukum.
            Berdasarkan analisis terdapat perbedaan pendapat mengenai kompetensi peradilan yang berwenang.  Menurut Purnomo, berdasarkan Undang-undang 31 tahun 97 tentang peradilan hukum mewajibkan seorang  tentara yang melakukan pidana harus diadili secara militer. “Mereka adalah anggota TNI. Peradilan militer sesuai UU peradilan hukum,” tandasnya. http://ads.viva.co.id/ads/www/delivery/avw.php?what=bannerid:3944&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a80c1101“Seorang anggota militer yang melakukan tindak pidana akan lebih parah dibanding orang biasa,” kata Menhan Purnomo, Kamis (11/04/13). Sedangkan pernyataan yang dikemukakan oleh Araf, menurutnya pelaku kasus Cebongan seharusnya dikenai pidana umum. Jika menggunakan pidana militer, ucapnya, malah melanggar konstitusi UUD 1945 pasal 27 bahwa setiap warga negara sama di mata hukum. Karena inilah, aparat kepolisian tidak bisa lepas tangan menyerahkan proses hukum ke TNI. Karena mekanisme peradilannya menggunakan KUHAP, hukum materinya menggunakan KUHP," ucap Araf.
            Pada ketentuan KUHPM tidak mengatur adanya ketentuan peristiwa terjadinya pembunuhan berencana.
            Kini semua masyarakat sangat menantikan putusan dari pengadilan kepada pelaku penyerangan Lapas Cebongan, besar harapan terhadap putusan tersebut supaya diputuskan dengan seadil-adilnya dan tepat berdasarkan Undang-Undang yang berlaku baik berdasarkan hukum yang termuat dalam KUHP maupun KUHPM. Proses hukum ini amatlah penting agar didapat suatu efek penjeraan/ Deterence, supaya tidak terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan berulang yang disebabkan kurangnya efek penjeraan terhadap pelaku tindak pidana sehingga pelanggaran maupun kejahatan dapat segera mungkin dimusnakan dari muka bumi ini.

Tidak ada komentar: